Sabtu, 18 April 2009

PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU

Penulis: BHINUKO WARIH DANARDONO
Mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta semester 8

Di sini kita ketengahkan mengenai bagaimana peran kerja murid dalam mengupayakan pendidikan ini agar pendidikan adalah nomer satu. Memang dari hal ini pentingnya pendidikan itu sangat memberikan makna yang kompeten karena didasari oleh kemampuan pola pikir murid dan juga kepribadian murid. Arti penting pendidikan itu adalah membawa sebuah kebanggaan tersendiri seperti misalnya prestasi-prestasi di sekolah, prestasi dalam tim olimpiade di luar negeri dengan prestasi ini maka murid akan membawa nama harum bangsa kita. Persolan-persoalan dalam dunia pendidikan ini sangat mengacu sekali pada kemampuan daya berpikir murid dari satu murid ke murid lainnya oleh karena ini kita akan tahu mana murid yang berprestasi dan mana murid yang tidak berprestasi.

Upaya pemerintah dalam menindak lanjuti tentang pendidikan itu pemerintah lebih melihat siswa itu dari segi sektor pergulan pendidikan dan sifat dan karakteristik murid dalam kesehariannya. Dari sini sektor pergaulan itu ada 3 yaitu pergaulan di lingkungan rumah, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah begitu juga dengan sektor pendidikan juga sama kalau sektor pendidikan dibagi 3 yaitu pendidikan dirumah, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di sekolah. sebelum kita berlanjut ke hal berikutnya kita bahas terlebih dahulu yang pertama mengenai sektor pergaulan, sektor ini dibagi 3 yaitu dirumah,di masyarakat dan di sekolah. sektor pergaulan dirumah yaitu bagaimana dia bergaul berkomunikasi dengan keluarganya apakah dia nyaman, dapat kasih sayang ,dukungan atau tidak oleh keluarganya dalam hal ini kakak adik ayah dan ibu karena dari sektor pergaulan dirumah inilah nantinya anak ini bisa maju dan berhasil. pergaulan di masyarakat apakah dia bisa beradaptasi di masyarakat atau tidak karena masyarakat adalah kuncinya manusia itu bisa berkembang dan punya banyak teman dan juga punya rasa sopan santun, hormat menghormati dan lain sebagainya.

Sektor pergaulan di sekolah antara lain apakah dia bisa beradaptasi tidak dengan orang lain yan sama sama bersekolah disekolahnya. Sektor pendidikan ada 3 yaitu dirumah, dimasyarakat dan di sekolah. Sektor pendidikan dirumah antara lain dapat bimbingan pengajaran dari orang tua tentang didikan ajaran baik dan buruknya dan juga yang lain, sektor pendidikan dimasyarakat antara lain menyangkut tentang tata krama atau sopan santun terhadap orang yang lebih tua dan lain sebagainya, sektor pendidikan di sekolah antara lain belajar hormat menghormati dan berkumpul atau bergaul. Dari beberapa sektor yang sudah dibahas satu persatu ini dapat disimpulkan bahwa manusia itu tak luput dari orang lain dan manusia itu tidak bisa individu karena manusia itu diciptakan oleh Allah itu untuk bersama sama dengan orang lain.

Murid adalah junjungan yang patut dibanggakan karena kalau muri berprestasi dan dan meraih gelar maka murid dapat membawa nama baik keluarga masyarakat dan juga negara tercinta kita ini.Kita tahu banyak generasi mudah sekarang ini yang senangnya hura-hura yaitu sering mabuk-mabukkan dan ngedrugs, sering tawuran, berkelahi, dan lain,lain halnya. Dengan perilaku generasi mudah kita ini maka negara kita ini yang terlalu banyak dilecehkan oleh negara lain dan negara kita ketinggalan oleh negara lain mengenai permasalahan pendidikan ini. kita ini lemah karena ada barang baru masuk ke Indonesia pun ikut mencoba-coba misalnya yang tadi miras dan obat obatan terlarang ini yang beredar sekarang .

Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar

Penulis : Prof. Sarlito Wirawan Sarwon
Guru Besar Fakultas Psikologi UI

Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat pada psikolog. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua pun mengkonsultasikan anaknya kepada psikolog.

Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, di pihak anaknya sendiri kurang nampak ada urgensi pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Rata-rata anak memang ingin lulus UMPTN di Universitas-universitas favorit (UI, ITB), tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya1. Kalau tidak lulus UMPTN, pilihan untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) masih banyak. Kalau tidak diterima di Trisakti atau Atmajaya, masih banyak PTS yang lain. Bagi yang orangtuanya mampu, kuliah di luar negeri2 bahkan lebih banyak lagi peluangnya.

Tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada hampir-hampir tidak adanya persiapan yang serius. Kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.

Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) adalah sekolah bisnis (MBA). Dalam bayangan mereka, MBA berarti menjadi direktur atau manajer, kerja di kantor yang mentereng, memakai dasi atau blazer dan pergi-pulang kantor mengendarai mobil sendiri. Hampir-hampir tidak terbayangkan oleh mereka proses panjang yang harus dilakukan dari jenjang yang paling bawah untuk mencapai posisi manajer atau direktur tsb.

Sikap "jalan pintas" ini bukan hanya menyebabkan motivasi belajar yang sangat kurang, melainkan juga menyebabkan timbulnya gaya hidup yang mau banyak senang, tetapi sedikit usaha, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan akibat dari frustrasi ini bisa timbul banyak masalah lain3.

Teori Brofenbrenner

Untuk memahami mengapa anak-anak bersikap jalan pintas sehingga malas belajar (banyak yang sejak SD), dan untuk membantu orangtua mencari cara pencegahan serta jalan keluarnya, saya mengajak anda sekalian untuk mengkaji sebuah teori yang dikemukakan oleh Brofenbrenner4.

Teori Brofenbrenner yang berparadigma lingkungan (ekologi) ini menyatakan bahwa perilaku seseorang (termasuk perilaku malas belajar pada anak) tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya.

Adapun lingkungan di luar diri orang (dalam makalah ini selanjutnya akan difokuskan pada anak atau siswa SD-SLTA) oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis (lihat diagram**):

  1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak.

  2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.

  3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, televisi dsb.

  4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.

Makalah ini, dengan mengikuti teori Brofenbrenner tersebut di atas, akan menguraikan bagaimana sistem makro yang terjadi di dunia dan Indonesia, melalui sistem-sistem lain yang lebih kecil (exo, meso dan mikro) berpengaruh pada kepribadian dan perilaku anak, termasuk perilaku malas belajar yang sedang kita biacarakan ini.

Sistem Makro

Kiranya hampir semua orangtua dan pendidik (dan semua orang juga) merasakan bahwa jaman sekarang ini terlalu banyak sekali perubahan. Para orangtua dari generasi "Tembang Kenangan" tidak bisa mengerti, apalagi menikmati, lagu-lagu favorit anak-anak mereka yang dibawakan oleh Dewa atau Westlife group. Bahkan generasi yang remaja di tahun 1980-an (generasi Stevie Wonder, Lionel Richie) juga sulit menerima lagu-lagu sekarang. Sulitnya, di kalangan generasi muda sendiri juga terdapat banyak versi musik (rap, reggae, house, salsa dsb.) yang masing-masing punya penggemar masing-masing. Di sisi lain musik-musik tradisional seperti keromcong dan gending Jawa, juga mengalami perubahan versi sehingga muncul musik campur-sari yang sekarang sedang populer di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk generasi mudanya. Sementara itu, musik dangdut, yang tadinya monopoli masyarakat lapis bawah, justru berkembang menjadi lebih universal dengan mulai memasuki dunia kelas menengah atas.

Perubahan-perubahan yang drastis dan sekaligus banyak ini juga terjadi pada bidang-bidang lain. Wayang orang dan wayang kulit yang saya gemari di masa kecil dan merupakan kegemaran juga dari ayah saya dan nenek-moyang saya, sekarang praktis tidak mempunyai lahan hidup lagi. Modifikasi dari kesenian tradisional (wayang kulit berbahasa Indonesia dan berdurasi hanya 2 jam diselingi musik dang dut, atau ketoprak humor), hanya bisa mengembangkan penggemarnya sendiri tanpa bisa mengangkat kembali kesenian tradisional sebagai mana bentuk aslinya.

Dalam setiap sektor kehidupan yang lain pun terdapat perubahan yang cepat. Karena itu jangan heran jika istilah-istilah "prokem" di jaman tahun 1980-an sudah tidak dimengerti lagi oleh anak-anak "gaul" angkatan 1990-an yang punya gaya bahasa "funky" tersendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sudah terampil menggunakan komputer, sedangkan eyang-eyang mereka menggunakan HP saja masih sering salah pencet. Video Betamax yang sangat modern di tahun 1980-an, sekarang sudah menjadi barang musium dengan adanya VCD (Video Digital Disc) dan yang terbaru DVD (Digital Video Disc; yang sebentar lagi pasti akan usang juga).

Dampak dari perubahan cepat ini sangat dahsyat sekali. Jika dalam bidang sosial budaya kita hanya mengamati kekacauan yang sulit dimengerti, dalam politik, perkembangan dan perubahan yang teramat sangat cepat ini telah meruntuhkan beberapa negara (Rusia, Yugoslavia), setidak-tidaknya telah menimbulkan banyak konflik yang menggoyangkan stabilitas dalam negeri dan menelan banyak korban harta dan jiwa (seperti yang sedang terjadi di Indonesia).

Para ilmuwan, setelah menganilis situasi yang dahsyat di seluruh dunia tsb. di atas, menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodernism (disingkat: Posmo)5 . Menurut para pemikir Posmo, jaman sekarang kira-kira sama dahsyatnya dengan jaman revolusi industri (ditemukannya mesin uap, listrik, mesiu dsb.) di akhir abad XIX yang juga berdampak berbagai peperangan, revolusi (perancis, Rusia), depresi ekonomi, kemerdekaan berbagai negara kolonial, penyakit menular dsb. yang kemudian kita kenal sebagai jaman modern. Perbedaan antara jaman modern dengan jaman sebelumnya adalah bahwa kendali kekuasaan (dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik) beralih ke tangan-tangan pemilik modal, pekerja, pemikir dsb., dari penguasa sebelumnya yaitu para raja, bangsawan, tuan tanah dsb. Dalam bidang musik misalnya, supremasi Beethoven sudah diambil alih oleh Elvis Presley, sedangkan kekuasaan Paus di Roma sudah tersaingi oleh berbagai versi agama Kristen lain yang tersebar di seluruh dunia (termasuk versi Katolik Roma di Philipina, misalnya). Di Jawa, misalnya, pusat kebudayaan di Kraton Mataram6, segera beralih ke Ismail Marzuki dan Chaeril Anwar setelah revolusi kemerdekaan. Dalam politik, ideologi yang berdasarkan feodalisme beralih ke ideologi komunisme (revolusi Rusia) atau liberalisme (revolusi kemerdekaan Amerika Serikat). Tetapi di zaman tradisional maupun di zaman modern, masih terasa adanya pusat-pusat kekuasaan, yang oleh manusia (dari sudut pandang psikologi) sangat diperlukan sebagai patokan atau pedoman hidup, sebagai tolok ukur untuk menilai mana yang benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek.

Di dalam politik, misalnya, sampai dengan awal tahun 1990-an masih ada dua kekuatan utama di dunia (super powers) yaitu blok Barat (AS dan Eropa Barat) dan blok Timur. Upaya negara-negara dunia ke-3 untuk membangun KTT Non-Blok tidak banyak artinya, karena anggota-anggotanya tetap saja terpecah antara yang condong ke Blok Barat dan Blok Timur.

Tetapi di jaman Posmo ini, tidak ada lagi pusat-pusat kekuasaan seperti itu. Tidak ada tokoh, aliran, partai politik, ideologi, dan sebagainya yang mampu menonjol atau dominan dalam waktu yang cukup lama. Semua orang, aliran, ideologi dsb. bisa bisa timbul-tenggelam setiap saat. Bahkan agama pun, yang merupakan pranata yang paling konservatif, berubah-ubah dengan cepat sekali dengan timbul-tenggelamnya berbagai aliran, sekte dan bahkan agama-agama baru. Maka dapat dimengerti bahwa masyarakat awam di lapis bawah akan terperangkap dalam kebingungan-kebingungan karena hampir tidak ada tolok ukur yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.

Sistem Exo

Pengaruh Posmo pada sistem exo dapat dilihat dan dirasakan dengan perubahan drastis dalam berbagai pranata sosial, politik dan ekonomi. Di Indonesia kita dapat menyimaknya dalam berbagai gejala seperti berubahnya fungsi Polri dari aparat pertahanan dan keamanan menjadi fungsi keamanan, ketertiban dan penegakkan hukum (karena itu Polri keluar dari ABRI). Dalam bidang perekonomian, pemerintah kehilangan kendalinya terhadap sistem moneter, karena begitu banyaknya yang bisa ikut bermain dalam sistem moneter, sehingga nilai valuta asing menjadi sangat fluktuatif. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan nasional, yang tadinya seragam untuk seluruh Indonesia, makin bervariasi dengan banyaknya sekolah yang berorientasi pada bermacam-macam agama, sekolah yang bekerja sama dengan luar negeri, sekolah-sekolah alternatif yang dikelola LSM dan sebagainya, sementara di tingkat perguruan tinggi berkembang terus-menerus berbagai gelar baru (bahkan ada gelar-gelar palsu) dan peraturan-peraturan Depdiknas pun berubah-ubah setiap saat.

Di bidang media massa dan sarana komunikasi dan perhubungan, terdapat makin banyak alternatif. Jika di tahun 1960-an hanya ada radio dan telpon yang diputar dengan tangan dan hubungan ke luar Jawa sangat langka dan lama, sekarang sudah tersedia berbagai alternatif seperti televisi fax (dari satu stasiun saja di tahun 1963, menjadi puluhan stasiun dengan sarana satelit), HP, internet, fax, bus antar propinsi (dari Banda Aceh sampai Kupang), pesawat udara (sehingga Jakarta-Jayapura hanya beberapa jam saja) dsb., sehingga hampir tidak ada lagi daerah yang masih terisolir seperti Kabupaten Lebak di zaman Max Havelaar.

Dalam bidang kehidupan berkeluarga, sistem kekerabatan (keluarga besar) sudah makin ditinggalkan orang dan beralih ke pada sistem keluarga inti. Bahkan akhir-akhir ini sudah banyak orang yang memilih untuk tidak menikah (single family) atau menjadi orangtua tunggal (single parent family). Rata-rata usia menikah makin meningkat (di kalangan menengah-ke atas sudah mencapai 26 tahun dan 30 tahun bagi wanita dan pria). Psangan nikah pun ditentukan sendiri oleh anak, bukan orangtua. Upacara-upacara perkawinan masih dilakukan secara tradisional, tetapi hanya simbolik saja, karena upacara-upacara itu sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya dari pasangan yang bersangkutan (uoacaranya berbahasa Jawa, padahal pengantin sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, bahkan sangat boleh jadi psangan sudah berhubungan seks jauh sebelum upacara adat yang disakralkan itu).

Sistem Meso dan Mikro

Yang dimaksud dengan sistem Mikro adalah orang-orang yang terdekat dengan anak dan setiap hari berhubungan dengan anak (ayah-ibu, kakak-adik, oom, tante, opa, pembantu, supir, teman sekolah, guru dsb.), maupun tempat-tempat di mana anak sehari-hari berada (rumah, lingkungan tetangga, kebun, sekolah, kota dsb.). Interaksi antara unsur-unsur dalam sistem Mikro tersebut dinamakan sistem Meso.

Sehubungan dengan berkembangnya Posmo (yang oleh Alvin Toffler dinamakan "The Third Wave" QUOTATION), maka sistem Mikro dan Meso anak juga akan berubah drastis. Orangtua, guru, guru ngaji, orangtuanya teman-teman, apalagi televisi, tidak lagi satu bahasa dan seia-sekata dalam mendidik anak-anak. Di masa lalu, setiap ucapan orangtua hampir selalu konsisten dengan arahan guru di sekolah atau omongan orang-orang di surau atau di pasar. Tetapi sekarang apa yang dikatakan orangtua sangat berbeda dengan yang ditayangkan di TV, atau dengan omongan orangtuanya teman, atau nasihat ibu guru. Bahkan antara ayah dan ibu saja sering tidak sepaham, karena ibu-ibu jaman sekarang sudah sadar jender, punya penghasilan sendiri (bahkan kadang-kadang lebih besar dari suaminya), jadi merasa berhak juga untuk memutuskan dalam lingkungan rumah tangga.

Buat orangtua sendiri, yang dirasakan adalah bahwa anak tidak lagi hanya mendengarkan orangtua sendiri. Anak makin sering membantah, bahkan melawan orangtua, karena ia melihat banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa yang dikatakan orangtuanya. Jika anak dilarang menyetir pad usia 14 tahun, ia segera bisa menunjuk anak lain yang diijinkan nyetir sejak SD; jika anak disuruh sholat, ia segera mengacu pada Pak De-nya yang tidak sholat. jika ia dilarang pulang malam, ia malah pulang pagi, karena semua temannya mengajaknya ke disko atau ke kafe.

Anak

Sementara itu, anak sendiri tetap saja anak seperti sejak jaman dahulu kala. Semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima masukan-masukan (tahap formative). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan mencari jati dirinya dan akan makin menajam ketika ia remaja (makin sulit diatur) sehingga masa ini sering dinamakan masa pancaroba.

Masa pancaroba ini pada hakikatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memasuki usia dewasa yang matang dan bertanggung jawab, karena ia sudah mengetahui tolok ukur yang harus diikuti dan mampu menetapkan sendiri mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan mana yang indah dan jelek.

Tetapi masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus, seperti halnya di era Posmo ini. Dampaknya adalah timbulnya generasi remaja dan dewasa muda yang terus berpancaroba sampai dewasa. Generasi inilah yang saya temui di ruang praktek dengan kebingungan memilih jurusan yang mana, bimbang karena pacarnya tidak disetujui orangtua, kehabisan akal karena hamil di luar nikah atau karena tidak bisa keluar dari kebiasaan menyalah gunakan Narkoba.

Perubahan Paradigma

Menghadapi era Posmo yang serba tidak jelas ini, kesalahan paling besar, tetapi yang justru paling sering dilakukan, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua mutlak harus diikuti, orangtua penya hak dan kekuasaan atas anak, anak harus berbakti kepada orangtua dsb. Di sekolah para guru pun masih sering berpatokan pada pepatah "guru adalah digugu/dipatuhi dan ditiru), sehingga benar atau salah guru harus selaludipatuhi. Demikian pula dalam bidang agama, bahkan politik (masing-masing elit politik dan kelompok mahasiswa merasa dialah yang paling benar).

Jika dihadapakan terus-menerus dengan pendekatan otoriiter, maka anak-anak yang sedangserba kebingungan akan makin bingung sehingga makin tidak percaya diri, atau justru makin memberontak dan menjadi pelanggar hukum. Karena itu dalam era sistem Makro yang diwaranai oleh Posmo ini, pendidikan pada anak harus berorientasi pada pengembangan kemampuan anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri secara tepat dan cepat. Dengan perkataan lain, anak harus dididik untuk menilai sendiri yang mana yang benar/salah, baik/tidak baik atau indah/jelek dan atas dasar itu ia memutuskan perbuatan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Anak yang dididik untuk selalu mentaati perintah orangtua, dalam pemberrontakannya akan mencari orang lain atau pihak lain (dalam sistem Mikro-nya) yang bisa dijadikannya acuan baru dan selanjutnya ia akan mentaati saja ajakan atau arahan orang lain itu (yang sangat boleh jadi justru menjerumuskan).

Penutup

Harus diakui bahwa menjadi orangtua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan orantua belum pernah mengalami situasi seperti sekarang ini di masa kecilnya; kedua, karena mereka cenderung meniru saja cara-cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua atau senior merekasendiri di masa lalu; dan yang ketiga, memang sangat sulit untuk mengubah pola pikir seseorang dari pola pikir tradisional dan pola pikir alternatif sesuai dengan tuntutan jaman sekarang.

Tetapi bagaimana pun berat dan sulitnya, upaya itu harus dilakukan, karena kalau tidak maka kita akan menjerumuskan generasi muda kita dalam kesulitan yang lebih besar.


Tidak Boleh Ada Perpeloncoan Siswa Baru

Kamis, 10 Juli 2008 | 20:43 WIB

BANDUNG, KAMIS - Kegiatan belajar mengajar di tahun ajaran baru 2008/2009 dimulai serentak, Senin (14/7) mendatang. Di masa pengenalan sekolah, dilarang adanya praktik-praktik perpeloncoan. Sekolah pun diwajibkan melakukan pembinaan terhadap organisasi siswa untuk menghindarkan praktik negatif ini.

Kegiatan pengenalan yang biasanya diberi nama masa orientasi sekolah pun mulai tahun ini diganti menjadi Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Sesuai dengan namanya, kegiatan lebih diarahkan untuk mengenalkan siswa dengan lingkungan sekolah mulai dari program, budaya, hingga kurikulum pembelajarannya.

Dikenalkan pula strategi pembelajaran yang efektif di sekolah. "Perpeloncoan itu dilarang," ujar Kepala SMAN 2 Kota Bandung, Teddy Hidayat, Kamis (10/7). Kegiatan MPLS ini pun hanya berlangsung singkat, yaitu dua hari, berturut-turut Senin (14/7) dan Selasa (15/7). Ini diatur di dalam Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Nomor 421.7/530-PSMTH/2008.

Yang lebih positif, kegiatan latihan kepemimpinan siswa pun ikut dimasukkan di dalam rangkaian MPLS ini. Tepatnya, mulai 16-19 Juli ini. Menurutnya, kegiatan macam ini akan lebih bermanfaat bagi siswa. Sebab, materi pengenalan lingkungan sekolah yang disampaikan nantinya bisa menjadi bekal strategi siswa untuk berhasil dalam belajar.

Menyinggung soal potensi munculnya praktik perpeloncoan di sekolah, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMAN 5 Kota Bandung, Rahmat Effendi mengungkapkan, itu bisa dihindari lewat pembinaan dan sosialisasi memadai kepada para siswa senior di kelas XI dan XII. Ia optimis, di sekolahnya tahun ini tidak akan muncul perpeloncoan. Apalagi, sejak tahun-tahun sebelumnya, praktik negatif ini telah dilarang.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA se-Kota Bandung, Ajat Sudrajat mengungkapkan, antisipasi praktik perpeloncoan telah menjadi perhatian serius bersama para kepala sekolah. "Kepala-kepala sekolah dan para pembina kesiswaaan telah berkumpul dua hari lalu untuk membicarakan ini (MPLS). Dalam rapat ditegaskan lagi tidak boleh ada perpeloncoan," ujarnya.

Ajat menjelaskan, para pembimbing pun telah diarahkan untuk melakukan kontrol pembinaan kepada siswa selama kegiatan MPLS berlangsung. "Yang dibolehkan adalah penegakan disiplin. Bukan perpeloncoan," ucapnya kemudian. "Jika ditemui perpeloncoan oleh siswa, maka yang bersangkutan bisa dikenai sanksi pembinaan. Namun, masih dalam konteks yang edukatif," sambungnya.

Perilaku agresif

Sri Rahayu Astuti, psikolog perkembangan remaja dari Universitas Padjadjaran, mengatakan, pada prinsipnya, usia remaja seperti siswa tingkat SMA berpotensi memiliki perilaku agresif. Perilaku yang mengarah intimidasi ke orang lain ini potensial muncul di perpeloncoan.

"Perilaku agresif ini tidak hanya dalam bentuk fisik misal kekerasan, melainkan juga verbal macam kata-kata ejekan," katanya. Risiko perilaku agresif siswa lebih senior ini makin tinggi mengingat usia remaja adalah fase pengenalan diri dan emosi. Cara yang efektif mengatasi pesoalan ini adalah melalui bimbingan intensif dari orang dewasa.

Depdiknas Bangun Lima SMK di Daerah Perbatasan

Oleh: Egi

Departemen Pendidikan Nasional tahun ini akan mulai membangun lima sekolah menengah kejuruan (SMK) di daerah perbatasan. Tiga dari lima SMK tersebut akan didirikan di perbatasan Indonesia-Malaysia, yaitu di Nubukan, Kalimantan Timur, serta di Taloh dan Entikong, di Kalimantan Barat. Dua SMK lainnya akan didirikan di perbatasan Indonesia-Filipina tepatnya di Tahuna, Sulawesi Utara, dan di perbatasan Indonesia-Vietnam-Thailand, yaitu di Natuna, Kepulauan Riau.

Direktur Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Joko Sutrisno mengatakan, pendirian SMK-SMK ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan di sektor ekonomi, dan bisnis sekaligus juga sebagai bagian dari upaya mengamankan negara.

"Jika perekonomian tumbuh semakin pesat dan kebutuhan masyarakat tercukupi, maka daerah perbatasan di wilayah Indonesia akan tetap aman dan tidak akan mungkin bergeser menjadi milik negara lain," ujarnya, dalam acara Lomba Keterampilan Siswa (LKS) SMK I Tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 di GOR Suroto di Kompleks Akademi Militer Magelang, Kamis (26/2).

Pembangunan SMK akan segera dilaksanakan minggu depan. Pada tahap selanjutnya, masing-masing SMK tersebut akan memiliki program kejuruan yang berbeda-beda sesuai dengan potensi sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Pembangunan SMK di daerah-daerah perbatasan ini, menurut Joko, dilaksanakan Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan TNI. Selain dalam kegiatan pembangunan fisik gedung sekolah, TNI nantinya juga akan dilibatkan sebagai tenaga pengajar. "Para anggota TNI nantinya akan membantu mengajarkan materi pelajaran bela negara dan cinta tanah air," terangnya.

Mengikuti program TNI manunggal pendidikan, keterlibatan personel TNI untuk mengajar materi bela negara dan cinta Tanah Air ini juga akan dilaksanakan di SMK-SMK lainnya.

Kekurangan 10.000 guru

Saat ini, Joko mengatakan, masih terjadi kekurangan 10.000 guru SMK. Kekurangan tenaga pengajar ini terjadi merata hampir di 7.446 SMK di Indonesia. "Terutama sekali, kekurangan tenaga guru terjadi pada SMK-SMK yang berdiri di daerah pedesaan dan terpencil, jauh dari pusat keramaian," terangnya.

Untuk menutup kekurangan guru tersebut, Joko mengatakan, SMK biasanya mendatangkan tenaga pengajar dari luar, yaitu dari kalangan mahasiswa yang baru menempuh kuliah kerja nyata (KKN), praktisi di perusahaan-perusahaan, dan personel TNI.

Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam sambutannya yang dibacakan Asisten III Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Inu Kertapati mengatakan, selain guru, para siswa SMK juga perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang dekat dengan dunia kerja.

"Kerja sama pelatihan dan program magang di sekolah-sekolah juga harus terus ditingkatkan, agar para siswa SMK semakin trampil dan terbiasa dengan dunia kerja yang akan digelutinya kelak," terangnya.

EVALUASI PEMBELAJARAN IPS

Oleh: Pakde Sofa

1.Evaluasi merupakan penilaian program, paroses dan hasil peandidikan.

2.Evaluasi dapat diartikan sebagai suatu pengukuran.

3.Evaluasi dapat bersifat kualitatif dan juga bersifat kuantitatif.

4.Evaluasi kualitatif hasilnya beruapa peringkatsangat baik, baik, sedang, kurang, sangat kurang

5.Evaluasi kuantitatif berupa angka-angka hasil pengukuran

FUNGSI Evaluasi:

1. Fungsi evaluasi pembelajaran bagi guru adalah mengungkapkan kelemahan proses kegiatan mengajar meliputi bobot materi yang disajikan, metode yang diterapkan, media yang digunakan, dan strategi yang dilaksanakan.-

2. Fungsi evaluasi bagi siswa yaitu

-mengungkapkan penguasaan materi pembelajaran

- Mengungkapkan kemajuan individual maupun kelompok dalam mempelajari IPS

ASAS EVALUASI

Asas komprehensif : evaluasi harus meliputi keseluruhan pribadi siswa yang dievaluasi.(kognitif, afektif, psikomotor)

Asas Kontinuitas: evaluasi wajib dilaksanakan scr berkesinambungan mulai dari pra- saat proses- dan pasca pembelajaran.

Asas Obyektif : Evaluasi seharusnya menilai dan mengukur apa adanya / non subyektif-

Hendaknya guru IPS setiap merancang test sebaiknya sesuai dengan asas-asas di atas

Evaluasi dapat berupa tes dan Non test.

Bentuk test obyektif, test esay, test lisan.

Sedangkan nontest meliputi tugas dan penampilan.

306 Sekolah Rusak

Senin, 9 Februari 2009 | 05:16 WIB
Sumber : Kompas Cetak

JAKARTA, MINGGU - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan perbaikan total pada sekolah-sekolah yang rusak parah tidak memadai. Dari 306 sekolah yang rusak dan rawan ambruk, hanya 19 sekolah yang akan direhabilitasi total. Kekurangan dana menjadi alasan utama.

Menurut Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan DKI Jakarta Didi Sugandhi, Minggu (8/2) di Jakarta Pusat, dalam APBD 2009, anggaran untuk perbaikan total sekolah yang rusak parah mencapai Rp 190,5 miliar. Namun, anggaran itu hanya cukup untuk memperbaiki sembilan SDN, lima SMPN, tiga SMAN, dan dua SMKN.

Minimnya jumlah sekolah yang akan diperbaiki secara total, kata Didi, membuat Pemprov tak berani menjamin tidak akan ada sekolah yang ambruk tahun ini.

Rata-rata usia sekolah di Jakarta yang sudah rusak parah mencapai di atas 30 tahun. Kerusakan konstruksi mencapai 65 persen dan tidak ada ruang penunjang, seperti perpustakaan, UKS, dan laboratorium.

”Bagi sekolah yang rusak parah, tetapi belum mendapat anggaran untuk perbaikan total, Pemprov akan mengusahakan melalui perbaikan berat. Perbaikan berat akan menambah masa pakai 5 sampai 10 tahun,” kata Didi.

Perbaikan berat pada tahun ini akan dikerjakan di 265 gedung sekolah. Anggaran yang disiapkan mencapai Rp 321,99 miliar.

Perbaikan berat itu juga belum memadai untuk memperbaiki 274 gedung sekolah yang rusak berat. Apalagi jika sebagian dana digunakan untuk memperbaiki sekolah yang rusak parah agar tidak ambruk.

Selain perbaikan total dan perbaikan berat, DKI juga merencanakan relokasi untuk sekolah-sekolah yang selalu tergenang pada saat musim hujan.

Data Dinas Pendidikan, 132 sekolah berada di lokasi yang rawan banjir, termasuk sekolah favorit SMAN 8 Bukit Duri. Seringnya terendam air membuat kualitas bangunan sekolah-sekolah itu mudah rusak. Di sisi lain, proses belajar-mengajar juga sering terganggu.

Namun, proses relokasi sekolah menghadapi kesulitan pengadaan lahan. Relokasi sekolah tingkat SMA dapat dilakukan di kawasan yang agak jauh. Namun, relokasi SD dan SMP tidak mungkin jauh dari lokasi semula karena siswanya berasal dari lingkungan tersebut.

Janji Wagub

Tidak sebandingnya jumlah sekolah yang rusak parah dan yang diperbaiki secara total membuat Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto dianggap ingkar janji. Pada akhir tahun 2008, Prijanto menjanjikan semua sekolah yang rusak parah akan diperbaiki agar tidak ada sekolah yang sampai ambruk.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Achmad Husein Alaydrus, mengatakan, Pemprov DKI harus mengalokasikan tambahan dana untuk perbaikan total sekolah yang rusak parah dalam anggaran biaya tambahan, pertengahan tahun ini.

”Pemprov seharusnya memiliki prioritas dalam merencanakan anggaran. Anggaran-anggaran yang tidak terlalu mendesak harus dicoret dan diarahkan untuk memperbaiki gedung sekolah yang rusak,” kata Alaydrus.

Menurut Alaydrus, jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan, Pemprov harus memprioritaskan perbaikan gedung sekolah. Siswa tidak akan tenang belajar jika gedung sekolah mereka dapat ambruk sewaktu-waktu. (ECA)

UJIAN NASIONAL

Oleh : Debiyani Tedjalaksana
23-Apr-2008, 12:02:22 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Hasil UN digunakan sebagai Acuan untuk meningkatkan standar Mutu Pendidikan Nasional.

Bila kita amati, ada tiga hal yang mengakibatkan UN menjadi sebuah polemik bahkan perdebatan yang bekepanjangan di negeri ini, yaitu: 1. UN Sebagai Penentu Kelulusan Siswa : Untuk membicarakan hal ini tentunya kita harus pula membicarakan proses pembelajaran yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik di setiap jenjang pendidikan terkait, yaitu: Jenjang Pendidikan Dasar 9 tahun (SD = 6 tahun dan SMP = 3 tahun)

Jenjang pendidikan tingkat SMA 3 tahunSebagaimana telah diketahui, bahwa terdapat sekian banyak mata pelajaran yang diberikan kepada siswa di tingkat SD, SMP dan SMA, dan bukan hanya mata pelajaran matematika, Bahasa Inggris , Bahasa Indonesia juga IPA saja seperti yang ditentukan dalam materi Ujian Nasional.

Pemberian berbagai jenis mata pelajaran tersebut, diyakini sebagai cara untuk memperkaya serta memperluas khasanah pengetahuan serta wawasan siswa, sekaligus sebagai upaya agar siswa dapat memilih dan menentukan mata pelajaran tertentu sesuai minat dan kemampuannya, karena tidak setiap siswa memiliki minat dan kemampuan yang sama.

Dan untuk perbedaan tersebut telah diakomodir dalam Kurikulum yang diberlakukan pemerintah yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sejak Tahun 2006 lalu, dimana terhadap setiap siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan dirinya sesuai bakat dan kemampuannya masing-masing.

Begitu juga terhadap setiap Lembaga Pendidikan/sekolah; dengan KTSP ini maka masing-masing sekolah diperkenankan untuk memiliki keunggulan yang berbeda sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun apa artinya kebebasan pemilihan yang diberikan kepada setiap siswa dan sekolah tersebut, bila pada akhirnya tetap harus "diberangus" oleh yang namanya Ujian Nasional? Karena bisa dikatakan dengan Ujian Nasional ini telah menisbikan pengakuan terhadap "ke-berbedaan" yang dimungkinkan dalam KTSP itu, sebab setiap siswa dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk empat mata pelajaran yang di UN kan.

Sehingga ujung-ujungnya, untuk setiap siswa yang duduk di kelas akhir bukan lagi pelajaran pengembangan sesuai minat dan potensi siswa yang diberikan, namun justru kegiatan-kegiatan seperti: Penambahan jam belajar untuk pemantapan dan latihan mengerjakan soal-soal UN. Dan ternyata tak hanya sampai disitu, karena siswa-siswa itupun kemudian beramai-ramai menyerbu berbagai Lembaga Bimbingan Belajar selepas pulang sekolah sebagai cara untuk lebih memantapkan diri dalam menjawab soal-soal UN. Dengan terjadinya kerancuan seperti ini maka tak sedikit orang yang akhirnya memplesetkan kepanjangan KTSP menjadi "Kate Siape?".

Apa yang dimaksud dengan Kelulusan? Jawaban untuk pertanyaan ini, terdapat pada aturan berikut: PP no 19 th 2005 : tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 1 ayat ke 4 , yaitu: Bahwa yang dimaksud Standar Kompetensi lulusan : adalah kualifikasi kemampuan lulusan, yang mencakup sikap, kemampuan , dan ketrampilan. dan Pasal 26: Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada PP no. 19 th 2005 pasal 1 ayat 4 dan pasal 26 ayat 2 tersebut : Maka jelaslah bahwa untuk menentukan kelulusan siswa bukan hanya ditentukan oleh empat mata pelajaran yang di UN kan, akan tetapi juga harus dengan mempertimbangkan proses belajar siswa selama beberapa tahun, yang antara lain terkait dengan sikap, Budi Pekerti dan kepribadian siswa. Dan tentunya hal ini sejalan dengan tujuan dari Lembaga Pendidikan/ Sekolah : yaitu melaksanakan: Pengajaran dan Pendidikan, yang artinya mengajar berbagai Ilmu Pengetahuan dan mendidik Budi Pekerti/ Etika .

Berangkat dari alasan-alasan tersebut; maka dengan sendirinya Pihak Sekolah/guru lah sebagai pihak yang paling dekat dengan siswanya dan dengan sendirinya juga sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi perkembangan kepribadian dan kemampuan siswanya masing-masing sebagai pihak yang Sangat layak untuk menentukan kelulusan siswanya.

Señalan dengan hal ini, Prof. H.A.R. Tildar mengatakan dalam bukunya " Manifesto Pendidikan Nasional", Tinjauan Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, hal 219. Bahwa : "Masalah mengenai Ujian Sekolah ( Ujian Negara/UAN ) perlu dituntaskan agar tidak membingungkan masyarakat, perlu disusun suatu rencana secara bertahap mengenai UAN yang pada akhirnya haruslah merupakan tanggung jawab para pelaksana di lapangan ialah guru ( sekolah )."

Dengan demikian, bila UN tetap dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa, maka hal ini bertentangan dengan KTSP yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri . Selain itu juga akan sangat dirasakan "tak adil" oleh sebagian sekolah mengingat: Masih banyaknya sekolah-sekolah dengan sarana prasarana belajar yang Sangat memprihatinkan, sehingga tak mungkin dapat melaksanakan proses belajar secara normal layaknya sekolah lain dengan kondisi normal.

Variatifnya kondisi siswa di berbagai daerah di negeri ini, terkait dengan tingkat kemampuan ekonomi keluarga masing-masing, karena bagi siswa seperti ini dengan masih mau dan diijinkan orang tuanya untuk berangkat ke sekolah pun sudah merupakan hal yang bagus, sebab pada umumnya mereka harus bekerja untuk membantu menunjang kehidupan keluarganya.

Perasaaan tak adil pun akan dirasakan manakala seorang anak yang pada dasarnya memiliki kemampuan yang baik, Namun akibat dari beban psikologis yang cukup berat saat menghadapi UN menyebabkan terganggunya kondisi fisik dan mental anak tersebut, sehingga vonis tidak lulus harus diterimanya. Untuk anak semacam ini, ketidak lulusan itu akan sangat dirasakan tidak adil mengingat perjuangan dalam proses belajar yang telah dijalaninya selama bertahun-tahun harus "dinyatakan gagal" hanya dalam 4 hari pelaksanaan UN.

UN Sebagai " Evaluasi Standar Mutu Pendidikan Nasional"
Alasan Pemerintah menetapkan UN sebagai standar kelulusan, kemungkinan hal ini didasarkan pada pertimbangan; adanya unsur Kekhawatiran dari pihak Pemerintah bahwa bila kelulusan siswa diserahkan pada pihak sekolah, maka tak ada jaminan siswa yang lulus merupakan benar-benar siswa yang layak untuk dinyatakan lulus, sebagaimana pernah terjadi saat sistem EBTANAS dulu. Untuk menjawab kekhawatiran itu; pemerintah bisa saja mengembalikan UN ke habitatnya semula yaitu sebagai alat evaluasi berkala dan bukan sebagai alat untuk menentukan kelulusan.

Hal ini sejalan dengan yang tertuang dalam: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No. 45 Th. 2006, Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007: Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Aturan lain , juga terdapat pada, UU RI No 20 Th 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB XVI Bagian Kesatu, Pasal 57: Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. dan Pasal 58: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan

Dengan mengacu pada peraturan-peraturan tersebut, maka jelaslah : Bahwa Kegiatan evaluasi pendidikan dilaksanakan secara nasional, dalam arti Soal dibuat secara Standar oleh Depdiknas, namun pelaksanaan dilakukan oleh sekolah/pendidik, dengan tujuan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pihak yang berkepentingan . Dan pihak yang berkepentingan disini, bisa diartikan adalah pihak: Depdiknas, pihak sekolah dan masyarakat.

Mengenai UN sebagai alat untuk mengevaluasi hasil standar mutu pendidikan, Prof. H.A.R. Tilaar mengatakan dalam bukunya " Manifesto Pendidikan Nasional ", hal 219 bahwa : Ujian negara berfungsi sebagai bahan pemetaan kualitas pendidikan nasional di daerah dan bukan merupakan suatu keputusan pengadilan yang menentukan nasib anak. Pelaksanaan Ujian Negara hendaknya dilaksanakan secara bertahap dengan kerjasama dengan daerah. UAN haruslah merupakan sarana perumusan kebijakan dan bukan menentukan nasib anak sekolah.

Dengan mendasarkan pada argumen tersebut serta pada beberapa aturan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri, maka jelaslah UN lebih tepat dijadikan sebagai "Alat atau Cara untuk melakukan Pemetaan ", dan sangat tidak relevan bila UN dimaksudkan "Sebagai penentu kelulusan ", juga sangat tidak masuk akal bila UN dimaksudkan" untuk meningkatkan standar mutu pendidikan nasional", kecuali bila :

3. Hasil UN digunakan sebagai "acuan untuk meningkatkan
Standar Mutu Pendidikan Nasional " Maksudnya adalah : Dengan berdasarkan pada hasil pemetaan standar mutu pendidikan nasional melalui UN tersebut, pemerintah akan lebih mudah memantau tingkat keberhasilan setiap sekolah juga setiap daerah dalam pelaksanaan proses belajar sesuai target kurikulum. Dan apabila fakta yang dihasilkan kemudian, bahwa ternyata terjadi disparitas standar mutu pendidikan antar sekolah dan antar daerah, maka fakta tersebut dapat dijadikan titik tolak pemerintah dalam mengkaji dan menentukan upaya perbaikan/peningkatan terhadap masing-masing sekolah di setiap daerah, sebagaimana yang ditetapkan dalam: PP.19 Th 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Bab VII, pasal 42 -46 : Tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah: bahwa sudah menjadi kewajiban Pemerintah memberikan kelengkapan sarana dan prasarana untuk setiap sekolah .

Sedangkan dalam kenyataannya, pemerintah belumlah sepenuhnya dapat melaksanakan ketentuan tersebut, sehingga mengakibatkan banyak sekolah dengan kondisi "tak normal" dan dengan sendirinya belum bisa melaksanakan kegiatan belajar secara memadai . Untuk hal ini timbul pertanyaan : Apakah adil, sekolah-sekolah dengan kondisi seperti itu "dihukum" oleh keharusan melaksanakan UN dengan standar soal yang sama seperti sekolah yang "normal"?

Di era otonomi daerah sekarang ini, sebenarnya lebih tepat apabila pelaksanaan evaluasi standar mutu pendidikan itu dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Karena dengan begitu, akan lebih mudah dalam melakukan pengawasan/pemantauan, juga untuk tindak lanjutnya.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa keberhasilan pendidikan di sebuah daerah, secara otomatis juga akan merupakan prestasi kinerja Pemerintah Daerah yang bersangkutan, seperti contoh : Keberhasilan Pemerintah Daerah Kaltim yang telah memberlakukan kebijakan pendidikan gratis 9 tahun bagi warganya.

Keberhasilan Pemerintah daerah Jembrana di Bali, yang nota bene merupakan daerah yang miskin dengan sumber daya alam, namun bisa memberlakukan kebijakan Pendidikan gratis 9 tahun, gratis biaya pengobatan bagi warganya dan bea siswa untuk siswa yang berprestasi.

Dengan kedua contoh tersebut, ternyata semua itu bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan, namun tentunya terpulang pada "Good Will and Political Will" Pemerintah Daerah setempat. Lalu bagaimanakah caranya agar evaluasi yang dilaksanakan bisa menghasilkan pemetaan sejujurnya demi perbaikan ? Beberapa hal berikut mungkin bisa dianggap sebagai jalan keluarnya, yaitu : Naskah soal UN dibuat oleh Depdiknas untuk digunakan di seluruh daerah, dan untuk soal tersebut bisa dibuat dengan tingkat kesulitan yang sedikit lebih tinggi atau sesuai standar kurikulum yang ditentukan.

Hasil UN yang diperoleh hanya digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi , sejauh mana standar mutu pendidikan yang telah dicapai oleh setiap sekolah di setiap daerah .

Jangan kaitkan keberhasilan UN suatu sekolah atau daerah dengan kebijakan politis seperti untuk menentukan prestise sekolah, bantuan dana pembangunan sekolah atau kebijakan lainnya yang bisa menjadi motivasi untuk melakukan perekayasaan prestasi. Hasil evaluasi hanya digunakan sebagai "Alat Ukur" dan bukan " penentu kelulusan siswa".

Namun yang terpenting selain dari keempat hal tersebut, adalah : Kesadaran dari seluruh pihak terkait, bahwa proses untuk menghasilkan sebuah prestasi merupakan bagian dari sebuah pendidikan moral bagi anak-anak bangsa, oleh karena itu prestasi yang dihasilkan haruslah merupakan cermin dari kemampuan yang didasarkan pada kejujuran, keuletan dan kesungguhan mereka. Sebuah prestasi yang dihasilkan melalui upaya perekayasaan, hanyalah mendatangkan kepuasan sesaat namun akan menerbitkan penyesalan dan rasa bersalah yang berkepanjangan di kemudian hari.

WARGA PASIRWANGI MANFAATKAN KEMBALI PRASARANA DASAR

Senin, 6- 2005

Reporter : Administrator/JDH


garut.go.id -- Warga desa Padaawas dan Sari Mukti di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut kini bisa memanfaatkan kembali prasarana dasar berupa bangunan Sekolah Dasar (SD) serta sarana air bersih, yang sempat mengalami kesulitan akibat bencana gempa bumi melanda kawasan tersebut belum lama ini.

Penggunaan sarana umum tersebut telah diresmikan Bupati Garut H. Agus Supriadi terdiri tiga lokal bangunan SD serta penyediaan jaringan perpipaan air bersih sepanjang 2.200 meter dilengkapi satu unit hidran umum di desa Padaawas, juga sepanjang 3.912 meter instalasi perpipaan air bersih di desa sari Mukti, kata Kepala Dinas Bangunan dan Pemukiman setempat, Ir H. Widiyana CES, Selasa (21/6).

Namun Widiyana tidak menyebutkan besarnya alokasi dana pembangunan tahun anggaran 2005 tersebut, juga belum menjelaskan realisasi rencana pembangunan SD di desa Tegal Gede Kecamatan Pakenjeng yang sangat tidak layak pakai akibat mengalami keretakkan berat diguncang bencana tanah bergerak.

Sementara itu Bupati Agus Supriadi menyatakan prihatin akibat terjadinya bencana alam di daerah itu selama rentang waktu Januari-desember 2004, yang juga banyak memporak-porandakan rumah penduduk dan sarana-prasarana umum lainnya, antara lain di desa Padaawas merusakkan bangunan SD padahal sektor pendidikan merupakan hal yang paling mendasar, ujarnya.

Masih banyaknya sarana pendidikan SD yang mengalami kerusakkan di kabupaten Garut, diperparah pula dengan kondisi kekurangan tenaga pengajar terutama tenaga pengajar yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka program pengangkatan guru bantu merupakan salah satu solusi mengantisipasi masalah terebut.

Kepala Subag Umum Dinas Pendidikan Garut, Ocep Sujadi SH mengatakan, realisasi rekrutment sebanyak 100 orang guru bantu program provinsi untuk SD/MI terpencil di kabupaten Garut secara bertahap bisa menanggulangi kekurangan tenaga guru di daerah-daerah terpencil, mereka pada 28 Juni mendatang melaksanakan registrasi dilanjutkan pada 29 Juni mengikuti pembekalan tugas.

Maka mereka yang dinyatakan lulus mengikuti seleksi tersebut sangat diharapkan kehadirannya di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten, sedangkan informasi kelengkapan dokumen yang harus disertakan dalam kegiatan registrasi serta pembekalan itu bisa menghubungi Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) di kecamatannya masing-masing, ujar Ocep Sujadi.

Ketika Ujian Nasional Sebuah Keharusan

Kompas
Rabu, 16 Februari 2005

Oleh Haidar Bagir

SETAHUN yang lalu saya pernah menulis artikel di koran ini yang isinya
mempertanyakan beberapa hal mengenai ujian akhir nasional atau UAN.
Kesimpulan saya waktu itu: UAN dapat bermanfaat jika ia dilihat lebih
sebagai assessment atas standar pendidikan di Indonesia, bukan sebagai alat
evaluasi proses pembelajaran. Atau, kalaupun mau dipakai sebagai alat
evaluasi, hendaknya ia tak dijadikan (satu-satunya) penentu kelulusan.

Selain itu, kurikulum, mata pelajaran, materi soal-soal ujian nasional (UN),
dan cara penilaian mesti diperbaiki. Saya tulis artikel ini untuk
mempertegas pandangan saya itu dan menempatkannya dalam perdebatan mutakhir
mengenai masalah ini. Meminjam istilah yang dipakai dalam "Tajuk Rencana"
Kompas (Sabtu, 5/2/2005), demi make the best of it. Maka, kritik terhadap UN
dalam artikel ini harus dilihat sebagai bahan untuk mendapatkan format
assessment dan evaluasi yang terbaik.

Sebelum yang lain-lain, barangkali sejak awal kita perlu bertanya: setelah
sekian puluh tahun UAN, ebtanas, atau apa pun namanya, dilaksanakan di
negeri kita, apakah mutu pendidikan kita sebagai bangsa memang membaik? Saya
kira semua orang akan sepakat bahwa jawabannya negatif, dilihat dari segi
akademik maupun karakter (akhlak). Juga, dalam hal inovasi, kreasi, tanggung
jawab sosial, disiplin, dan hal-hal lain yang justru merupakan tujuan puncak
semua proses pendidikan. Belum lagi jika kita kaitkan dengan kemampuan
kompetisi kita secara internasional.

ADA dua hal yang bisa disimpulkan dari sini : Pertama, tak ada yang tak
setuju-termasuk para penentang UN- bahwa kita harus punya semangat bekerja
keras kalau mau sukses. Persoalannya, apa betul UN (sendirian) bisa membuat
orang bekerja keras? Setiap orang yang terlibat langsung di dunia pendidikan
tahu bahwa yang terjadi dengan adanya UN adalah justru manipulasi nilai.
Maka, jangan-jangan, bukan saja berbagai bentuk ujian nasional gagal
meningkatkan semangat bekerja keras dan prestasi akademik, ia malah "sukses"
dalam meningkatkan kemerosotan karakter.

Kedua, peningkatan mutu akademik terletak bukan hanya pada UN, melainkan
juga pada banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan
dalam jangka panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan
pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Selama
kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana
pendidikan miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna,
korupsi merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk
sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat
akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh
dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi
faktor, UN tak akan banyak bermanfaat, kalau tak malah merugikan. Memang tak
ada jalan pintas dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita.

Lalu, sistem kelulusan (semata-mata) berdasarkan UN secara frontal
bertentangan dengan prinsip penilaian berbasis portofolio yang menjadi salah
satu kelebihan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang
didengung-dengungkan. Sebaliknya, dari menempatkan seluruh kinerja dan karya
siswa selama jangka waktu pendidikan sebagai dasar penilaian, menjadikan
sekali-dua UN sebagai penentu kelulusan justru membuyarkan itu semua.

Yang tak kalah pentingnya adalah persoalan kualitas soal UN. Boleh jadi,
soal seperti apa pun-selama ia memiliki tingkat kesulitan yang tinggi-akan
bisa menyaring yang punya kengototan belajar dari yang tidak. Tapi, tak
berarti ia bisa menghasilkan siswa-siswa terbaik. Apakah yang berhak lulus
dengan nilai bagus adalah memang siswa-siswa yang menguasai hafalan dan
berbagai materi akademik dalam kurikulum kita yang amat mubazir beban,
sebagaimana biasa diujikan dalam berbagai bentuk ujian nasional selama ini?

Ataukah siswa-siswa yang mampu lulus ujian sejenis SAT (standard aptitude
test) dan memiliki prestasi di bidang olahraga, musik, komunikasi, kemampuan
riset dan kreatif, serta berbagai kemampuan nonkognitif lainnya, sebagaimana
yang selama ini telah diterapkan di negara-negara maju, seperti di AS dan
Eropa? Belum lagi kalau kita masukkan faktor-faktor leadership, tanggung
jawab sosial, dan berbagai aspek karakter lainnya.

Daftar keberatan terhadap UN ini saya kira masih bisa diperpanjang. Nah,
apakah dengan demikian UN tidak perlu? Jawabannya, bisa saja masih perlu.
Pertama sebagai alat assessment kualitas pendidikan kita. Atau, kalau mau
dijadikan alat evaluasi proses belajar juga, perlu dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: pertama, UN tidak ditempatkan sedemikian sehingga secara
sendirian menentukan kelulusan. Kedua, materi soal-soal UN dirancang
sedemikian sehingga tepat dan relevan dengan tujuan pendidikan kita. Ketiga,
kalau UN memang mau dipertahankan, soal-soal UN jangan hanya mencakup tiga
mata pelajaran, tapi semua saja pelajaran, plus faktor-faktor yang saya
sebutkan di atas. (Kenapa mesti tiga itu saja yang dianggap penting? Mana
itu segala perbincangan tentang pendekatan multiple intelligences yang juga
menjadi salah satu andalan KBK?). Keempat, cara evaluasi mesti memberikan
tempat yang sama pentingnya terhadap ranah afektif (sikap) dan psikomotorik
(praktik), di samping kognitif (mental).

AKHIRNYA, sebuah usulan tambahan. Saya kira lebih banyak perhatian perlu
diberikan kepada ujian masuk perguruan tinggi (inilah yang, antara lain,
diterapkan di AS-yang sebagian besar negara bagian di negeri ini yang,
setahu saya, tak punya UN-dan beberapa negara lain yang lebih maju dari
kita). Semua tujuan UN bisa dicapai melalui ujian masuk PT, plus beberapa
manfaat lain: pertama, kemungkinan terjadinya praktik-praktik korupsi dalam
pelaksanaannya lebih kecil. Masih terkait dengan itu, kontrol terhadap
obyektivitas lebih mungkin dilakukan. Dan, sejauh ini, di PT-PT kita,
keinginan kuat untuk mendapatkan siswa terbaik saya kira masih cukup besar
sehingga dapat mengendalikan berbagai kelemahan setiap sistem UN.

Kedua, PT saya kira masih lebih "pragmatis"-sehubungan dengan hal
ketepatgunaan materi soal dan kebutuhan- dalam mencari siswa yang
dianggapnya paling layak menjalani pendidikan di dalamnya. Perlu saya
tambahkan di sini, sebagian PT kita sekarang sudah mulai melakukan tes
dengan model yang mendekati apa yang diterapkan di LN (yakni berdasarkan
rapor dan/atau cenderung berorientasi SAT). Tinggal ditambah alat lain untuk
menguji berbagai kemampuan lain, seperti tersebut di atas. Dunia perguruan
tinggi saya kira sudah lebih dulu menyadari kelemahan berbagai bentuk UN
dibandingkan sistem pendidikan dasar dan menengah kita.

EVALUASI PEMBELAJARAN

A.Pengertian Evaluasi Pembelajaran

Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang digunakan, yakni pengukuran, assessment dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Unsur pokok dalam kegiatan pengukuran ini, antara lain adalahsebagai berikut:

1).tujuan pengukuran,

2).ada objek ukur,

3).alat ukur,

4).proses pengukuran,

5).hasil pengukuran kuantitatif.

Sementara, pengertian asesmen (assessment) adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan keputusan. Sedangkan evaluasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggeris evaluation yang bertarti value, yang secara secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian. Namun, dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni:

a).Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu.

b).Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas.

c).Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasilpengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.

Berdasarkan pada berbagai batasan 3 jenis penilaian di atas, maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara evaluasi dengan pengukuran adalah dalam hal jawaban terhadap pertanyaan “what value” untuk evaluasi dan “how much” untuk pengukuran. Adapun asesmen berada di antara kegiatan pengukuran dan evaluasi. Artinya bahwa sebelum melakukan asesmen ataupun evaluasi lebih dahulu dilakukan pengukuran

Sekalipun makna dari ketiga istilah (measurement, assessment, evaluation) secara teoretik definisinya berbeda, namun dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluasi pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) serta pembandingan (assessment).

Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan penilaian, guruakan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik. Adapun langkah-langkah pokok dalam penilaian secara umum terdiri dari:

(1)perencanaan,

(2)pengumpulan data,

(3)verifikasi data,

(4)analisis data, dan

(5)interpretasi data.

Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai

A.Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut:

1).Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

2).Untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran.

3).Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.

4).Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa dalam rangka perbaikan.

Selain fungsi di atas, penilaian juga dapat berfungsi sebagai alat seleksi, penempatan, dan diagnostik,guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Penjelasan dari setiap fungsi tersebut adalah:

a).Fungsi seleksi. Evaluasi berfungsi atau dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan/kursus berdasarkan kriteria tertentu.

b).Fungsi Penempatan. Evaluasi berfungsi atau dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta pendidikan) mengikuti pendidikan pada jenis dan/atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing.

c).Fungsi Diagnostik. Evaluasi diagnostik berfungsi atau dilaksanakan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar yang dialami peserta didik, menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesulitan belajar tersebut.

B.Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Bila selama dekade terakhir ini keberhasilan belajar siswa hanya ditentukan oleh nilai ujian akhir (EBTANAS/UAN), maka dengan diberlakukannya PBK hal itu tidak terjadi lagi. Naik atau tidak naik dan lulus atau tidak lulus siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru (sekolah) berdasarkan kemajuan proses dan hasil belajar siswa di sekolah bersangkutan. Dalam hal ini kewenangan guru menjadi sangat luas dan menentukan. Karenanya, peningkatan kemampuan profesional dan integritas moral guru dalam PBK merupakan suatu keniscayaan, agar terhindar dari upaya manipulasi nilai siswa.

PBK menggunakan arti penilaian sebagai “assessment”, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan. PBK merupakan bagian dari evaluasi pendidikan karena lingkup evaluasi pendidikan secara umum jauh lebih luas dibandingkan PBK. (Lihat gambar 2).


Gambar 8.1: PBK sebagai bagian dari evaluasi

PBK mencakup kegiatan pengumpulan informasi tentang pencapaian hasil belajar siswa dan pembuatan keputusan tentang hasil belajar siswa berdasarkan informasi tersebut. Pengumpulan informasi dalam PBK dapat dilakukan dalam suasana resmi maupun tidak resmi, di dalam atau di luar kelas, menggunakan waktu khusus atau tidak, misalnya untuk penilaian aspek sikap/nilai dengan tes atau non tes atau terintegrasi dalam seluruh kegiatan pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir). Di sekolah sering digunakan istilah tes untuk kegiatan PBK dengan alasan kepraktisan, karena tes sebagai alat ukur sangat praktis digunakan untuk melihat prestasi siswa dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditentukan, terutama aspek kognitif.

Bila informasi tentang hasil belajar siswa telah terkumpul dalam jumlah yang memadai, maka guru perlu membuat keputusan terhadap prestasi siswa:

1).Apakah siswa telah mencapai kompetensi seperti yang telah ditetapkan?

2).Apakah siswa telah memenuhi syarat untuk maju ke tingkat lebih lanjut?

3).Apakah siswa harus mengulang bagian-bagian tertentu?

4).Apakah siswa perlu memperoleh cara lain sebagai pendalaman (remedial)?

5).Apakah siswa perlu menerima pengayaan (enrichment)?

6).Apakah perbaikan dan pendalaman program atau kegiatan pembelajaran, pemilihan bahan ajar atau buku ajar, dan penyusunan silabus telah memadai?

Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. Jenis penilaian yang dibuat oleh guru harus memenuhi standar validitas dan reliabilitas, agar hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu, kompetensi profesional bagi guru merupakan persyaratan penting. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa secara individu pada khususnya, agar perkembangan prestasi siswa dari waktu ke waktu dapat diamati (observable) dan terukur (measurable). Di samping itu, dengan dilaksanakannya PBK diharapkan dapat:

a).Memberikan umpan balik bagi siswa mengenai kemampuan dan kekurangannya, sehingga menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki prestasi belajar pada waktu berikutnya;

b).Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa, sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan perkembangan, kemajuan dan kemampuannya;

c).Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas apabila terjadi hambatan dalam proses pembelajaran;

d).Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan, walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda antara masing-masing individu;

Memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada masyarakat tentang efektivitas pendanaan, sehingga mereka dapat meningkatkan partisipasinya di bidang pendidikan secara serius dan konsekwen.

Prinsip-prinsip PBK

Sebagai bagian dari kurikulum berbasis kompetensi, pelaksanaan PBK sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan komponen yang ada di dalamnya. Namun demikian, guru mempunyai posisi sentral dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan kegiatan penilaian. Untuk itu, dalam pelaksanaan penilaianharus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1).Valid

PBK harus mengukur obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih (valid). Artinya, ada kesesuaian antara alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran. Apabila alat ukur tidak memiliki kesahihan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka data yang masuk salah sehingga kesimpulan yang ditarik juga besar kemungkinan menjadi salah.

2).Mendidik

PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa. Oleh karena itu, PBK harus dinyatakan dan dapat dirasakan sebagai penghargaan untuk memotivasi siswa yang berhasil (positive reinforcement) dan sebagai pemicu semangat untuk meningkatkan hasil belajar bagi yang kurang berhasil (negative reinforcement), sehingga keberhasilan dan kegagalan siswa harus tetap diapresiasi dalam penilaian.

3).Berorientasi pada kompetensi

PBK harus menilai pencapaian kompetensi siswa yang meliputi seperangkat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan/nilai yang terefleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Dengan berpijak pada kompetensi ini, maka ukuran-ukuran keberhasilan pembelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah.

4).Adil dan obyektif

PBK harus mempertimbangkan rasa keadilan dan obyektivitas siswa, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, latar belakang budaya, dan berbagai hal yang memberikan kontribusi pada pembelajaran. Sebab ketidakadilan dalam penilaian, dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar siswa, karena merasa dianaktirikan.

5).Terbuka

PBK hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan (stakeholders) baik langsung maupun tidak langsung, sehingga keputusan tentang keberhasilan siswa jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.

6).Berkesinambungan

PBK harus dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan dari waktu ke waktu, untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan siswa, sehingga kegiatan dan unjuk kerja siswa dapat dipantau melalui penilaian.

7).Menyeluruh

PBK harus dilakukan secara menyeluruh, yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta berdasarkan pada strategi dan prosedur penilaian dengan berbagai bukti hasil belajar siswa yang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak.

8).Bermakna

PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu, PBK hendaknya mudah dipahami dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil penilaian hendaknya mencerminkan gambaran yang utuh tentang prestasi siswa yang mengandung informasi keunggulan dan kelemahan, minat dan tingkat penguasaan siswa dalam pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan.

Selain harus memenuhi prinsip-prinsip umum penilaian, pelaksanaan PBK juga harus memegang prinsip-prinsip khusus sebagai berikut:

Apapun jenis penilaiannya, harus memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan pahami, serta mendemonstrasikan kemampuan yang dimilikinya; Setiap guru harus mampu melaksanakan prosedur PBK dan pencatatan secara tepat prestasi yang dicapai siswa.

Keunggulan PBK

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Penilaian ini dilaksanakan oleh guru secara variatif dan terpadu dengan kegiatan pembelajaran di kelas, oleh karena itu disebut penilaian berbasis kelas (PBK). PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja/penampilan (performance), dan tes tertulis (paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar siswa berdasarkan level pencapaian prestasi siswa.Karenanya, PBK dapat dikatakan sebagai bentuk penilaian yang paling komprehensip.

Harus disadari oleh semua pihak, bahwa sesungguhnya guru itulah yang paling mengetahui kemampuan atau kemajuan belajar siswa, bukan kepala sekolah, pengawas, apalagi pejabat struktural di Departemen atau Dinas Pendidikan. Sebab, gurulah yang sehari-hari berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa di dalam kelas dan di lingkungan sekolah. Dengan demikian, PBK yang memberi kewenangan sangat leluasa kepada guru untuk menilai siswa merupakan suatu keunggulan agar diperoleh hasil belajar yang akurat sesuai dengan kemampuan siswa yang sebenarnya. Selain itu, di dalam PBK guru tentu tidak dapat menilai sekehendak hatinya, melainkan harus menyampaikan secara terbuka kepada siswa untuk menyepakati bersama kompetensi yang telah dicapai oleh siswa dan standar nilai yang diberikan oleh guru.

Pelaksanaan PBK

Penilaian dilakukan terhadap hasil belajar siswa berupa kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam KBM setiap mata pelajaran. Di samping mengukur hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan kompetensi setiap mata pelajaran masing-masing kelas dalam kurikulum nasional, penilaian juga dilakukan untuk mengetahui kedudukan atau posisi siswa dalam 8 level kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

Penilaian berbasis kelas harus memperlihatkan tiga ranah yaitu: pengetahuan (koknitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) Ketiga ranah ini sebaikanya dinilai proposional sesuai dengan sifat mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai contoh pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (Al-Quran, Aqidah-Akhlaq, fiqh, dan tarikh) penilaiannya harus menyeluruh pada segenap aspek kognitif, afektif dan psikomotorik,dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek dari setiap materi. Misalnya kognitif meliputi seluruh mata pelajaran, aspek afektif sangat dominan pada materi pembelajaran akhlak, PPkn, seni. Aspek psikomotorik sangat dominan pada mata pelajaran fiqh, membaca Al Quran, olahraga, dan sejenisnya. Begitu juga halnya dengan mata pelajaran yang lain, pada dasarnya ketiga aspek tersebut harus dinilai.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian adalah prinsip kontinuitas, yaitu guru secara terus menerus mengikuti pertumbuhan, perkembangan dan perubahan siswa. Penilaiannya tidak saja merupakan kegiatan tes formal, melainkan juga:

1).Perhatian terhadap siswa ketika duduk, berbicara, dan bersikap pada waktu belajar atau berkomunikasi dengan guru dan sesama teman;

2).Pengamatan ketika siswa berada di ruang kelas, di tempat ibadah dan ketika mereka bermain;

3).Mengamati siswa membaca Al-Qur an dengan tartil (pada setiap awal jam pelajaran selama 5 – 10 menit)

Dari berbagai pengamatan itu ada yang perlu dicatat secara tertulis terutama tentang perilaku yang ekstrim/menonjol atau kelainan pertumbuhan yang kemudian harus diikuti dengan langkah bimbingan. Penilaian terhadap pengamatan dapat digunakan observasi, wawancara, angket, kuesioner, sekala sikap dan catatan anekdot (anecdotal record).

A.Teknik Penilaian Proses dan Hasil Belajar

Untuk keperluan evaluasi diperlukan alat evaluasi yang bermacam-macam, seperti kuesioner, tes, skala, format observasi, dan lain-lain. Dari sekian banyak alat evaluasi, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni alat tes dan nontes. Khusus untuk evaluasi hasil pembelajaran alat evaluasi yang paling banyak digunakan adalah tes. Oleh karena itu, pembahasan evaluasi hasil pembelajaran dengan lebih menekankan pada pemberian nilai terhadap skor hasil tes, juga secara khusus akan membahas pengembangan tes untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas tes sebagai alat evaluasi.

1).Teknik Tes

Tes secara harfiah berasal dari bahasa Prancis kuno “testum” artinyapiring untuk menyisihkan logam-logam mulia. Tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, kecerdasan, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh sesesorang atau kelompok.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa tes merupakan alat ukur yang berbentuk pertanyaan atau latihan, dipergunakan untuk mengukur kemampuan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang. Sebagai alat ukur dalam bentuk pertanyaan, maka tes harus dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan dan kemampuan obyek yang diukur. Sedangkan sebagai alat ukur berupa latihan, maka tes harus dapat mengungkap keterampilan dan bakat seseorang atau sekelompok orang.

Tes merupakan alat ukur yang standar dan obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu.Dengan demikian berarti sudah dapat dipastikan akan mampu memberikan informasi yang tepat dan obyektif tentang obyek yang hendak diukur baik berupa psikis maupun tingkah lakunya, sekaligus dapat membandingkan antara seseorang dengan orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tes adalah suatu cara atau alat untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh siswa atau sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku atau prestasi siswa tersebut. Prestasi atau tingkah laku tersebut dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan intruksional pembelajaran atau tingkat penguasaan terhadap seperangkat materi yang telah diberikan dalam proses pembelajaran, dan dapat pula menunjukkan kedudukan siswa yang bersangkutan dalam kelompoknya.

Dalam kaitan dengan rumusan tersebut, sebagai alat evaluasi hasil belajar, tes minimal mempunyai dua fungsi, yaitu:

a).Untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap seperangkat materi atau tingkat pencapaian terhadap seperangkat tujuan tertentu.

b).Untuk menentukan kedudukan atau perangkat siswa dalam kelompok, tentang penguasaan materi atau pencapaian tujuan pembelajaran tertentu.

Fungsi (a) lebih dititikberatkan untuk mengukur keberhasilan program pembelajaran, sedang fungsi (b) lebih dititikberatkan untuk mengukur keberhasilan belajar masing-masing individu peserta tes.

2).TesMenurut Tujuannya

Dilihat dari segi tujuannya dalam bidang pendidikan, tes dapat dibagi menjadi:

a).Tes Kecepatan (Speed Test)

Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi peserta tes (testi) dalam hal kecepatan berpikir atau keterampilan, baik yang bersifat spontanitas (logik) maupun hafalan dan pemahaman dalam mata pelajaan yang telah dipelajarinya. Waktu yang disediakan untuk menjawab atau menyelesaikan seluruh materi tes ini relatif singkat dibandingkan dengan tes lainnya, sebab yang lebih diutamakan adalah waktu yang minimal dan dapat mengerjakan tes itu sebanyak-banyaknya dengan baik dan benar, cepat dan tepat penyelesaiannya.Tes yang termasuk kategori tes kecepatan misalnya tes intelegensi, dan tes ketrampilan bongkar pasang suatu alat.

b).Tes Kemampuan (Power Test)

Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi peserta tes dalam mengungkapkan kemampuannya (dalam bidang tertentu) dengan tidak dibatasi secara ketat oleh waktu yang disediakan. Kemampuan yang dievaluasi bisa berupa kognitif maupun psikomotorik. Soal-soal biasanya relatif sukar menyangkut berbagai konsep dan pemecahan masalah dan menuntut peserta tes untuk mencurahkan segala kemampuannya baik analisis, sintesis dan evaluasi.

c).Tes Hasil Belajar (Achievement Test)

Tes ini dimaksudkan untuk mengevaluasi hal yang telah diperoleh dalam suatu kegiatan. Tes Hasil Belajar (THB), baik itu tes harian (formatif) maupun tes akhir semester (sumatif) bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam suatu kurun waktu tertentu. Makalah ini akan lebih banyak memberikan penekanan pada tes hasil belajar ini.

d).Tes Kemajuan Belajar ( Gains/Achievement Test)

Tes kemajuan belajar disebut juga dengan tes perolehan adalah tes untuk mengetahui kondisi awal testi sebelum pembelajaran dan kondisi akhir testi setelah pembelajaran. Untuk mengetahui kondisi awal testi digunakan pre-tes dan kondisi akhir testi digunakan post-tes.

e).Tes Diagnostik (Diagnostic Test)

Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk mendiagnosis atau mengidentifikasi kesukaran-kesukaran dalam belajar, mendeteksi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesukaran belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesukaran atau kesulitan belajar tersebut.

f).Tes Formatif

Tes formatif adalah penggunaan tes hasil belajar untuk mengetahui sejauh mana kemajuan belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu program pembelajaran tertentu.

g).Tes Sumatif

Istilah sumatif berasal dari kata “sum” yang berarti jumlah. Dengan demikian tes sumatif berarti tes yang ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa dalam sekumpulan materi pelajaran (pokok bahasan) yang telah dipelajari.

3).Bentuk Tes

Dilihat dari jawaban siswa yang dituntut dalam menjawab atau memecahkan persoalan yang dihadapinya, maka tes hasil belajar dapat dibagi menjadi 3 jenis :

a).Tes lisan (oral test)

b).Tes tertulis (written test)

c).Tes tindakan atau perbuatan (performance test)

Penggunaan setiap jenis tes tersebut seyogyanya disesuaikan dengan kawasan (domain) perilaku siswa yang hendak diukur. Misalnya tes tertulis atau tes lisan dapat digunakan untuk mengukur kawasan kognitif, sedangkan kawasan psikomotorik cocok dan tepat apabila diukur dengan tes tindakan, dan kawasan afektif biasanya diukur dengan skala perilaku, seperti skala sikap.

1. Bentuk Soal Pilihan Ganda

Keunggulan dari bentuk soal pilihan ganda ini, antara lain adalah sebagai berikut:

a).Pensekoran mudah, cepat, serta objektif

b).Dapat mencakup ruang lingkup bahan/materi yang luas

c).Mampu mengungkap tingkat kognitif rendah sampai tinggi.

Sementara, selain memilliki keunggulan, soal pilihan ganda juga memiliki kelemahan, antara lain adalah sebagai berikut:

a).Menuliskan soalnya relatif lebih sulit dan lama

b).Memberi peluang siswa untuk menebak jawaban

c).Kurang mampu meningkatkan daya nalar siswa.

2. Bentuk Soal Uraian

Keunggulan dari bentuk soal uraian ini, antara lain adalah sebagai berikut:

a).dapat mengukur kemampuan mengorganisasikan pikiran,

b).menganalisis masalah, dan mengemukakan gagasan secara rinci

c).relatif mudah dan cepat menuliskan soalnya

d).mengurangi faktor menebak dalam menjawab

Sementara, selain memiliki keunggulan, soal uraian juga memiliki kelemahan, antara lain adalah sebagai berikut:

a).jumlah materi (PB/SPB) yang dapat diungkap terbatas

b).Pengoreksian/scoring lebih sukar dan subjektif

c).tingkat reliabilitas soal relaitf lebih rendah

4).Ciri-ciri Tes yang Baik

Sebuah test dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi kriteria, yaitu memiliki validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas dan ekonomis

a).Validitas

Sebuah alat pengukur dapat dikatakan valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Demikian pula dalam alat-alat evaluasi. Suatu tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggiapabila tes itu tersebut betul-betul dapat mengukur hasil belajar. Jadi bukan sekedar mengukur daya ingatan atau kemampuan bahasa saja misalnya.

Untuk lebih mendukung memahami pengertian tersebut selanjutnya akan diuraikan beberapa macam kriteria validitas, yaitu:

1).Content validity (validitas isi)

Pengujian jenis validitas ini dilakukan secara logis dan rasional karena itu disebut juga rational validity atau logical validity.Batasan content validity ini menggambarkan sejauh mana tes mampu mengukur materi pelajaran yang telah diberikan secara representatif dan sejauh mana pula tes dapat mengukur sampel yang representatif dari perubahan-perubahan perilaku yang diharapkan terjadi pada diri siswa. Dengan demikian suatu tes hasil belajar disebut memiliki validitas tinggi secara content, bila tes tersebut sudah dapat mengukur sampel yang representatif dari materi pelajaran (subject matter) yang diberikan, dan perubahan-perubahan perilaku (behavioral changes) yang diharapkan terjadi pada diri siswa. Misalnya apabila kita ingin memberikan tes bahasa inggris untuk kelas II, maka item-itemnya harus diambil dari bahan pelajaran kelas II. Kalau diambilnya dari kelas III maka tes itu tidak valid lagi.

2).Predictive validity (validitas ramalan)

Validitas ramalan artinya ketepatan (kejituan) suatu alat pengukur ditunjau dari kemampuan tes tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapainya kemudian. Suatu tes hasilbelajar dapat dikatakan mempunyai validitas ramlan yang tinggi, apabila hasil yang dicapai siswa dalam tes tersebut betul-betul meramalakan sukses tidaknya siswa tersebut dakam pelajaran-pelajaran yang akan datang. Cara yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya validitas ramalan ialah dengan mencari korelasi antara nilai-nilsi yang dicapai oleh anak-anak dalam tes tersebut dengan nilai-nilai yang dicapai kemudian.

3).Concurent validity (Validitas bandingan)

Kejituan suatu tes dilihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telahdimilikisaat kini secara riil. Cara yang digunakan untuk menilai validitas bandingan ialah dengan jalan mengkorelasikan hasil-hasil yang dicapai dalam tes tersebut dengan hasil-hasil yang dicapai dalam tes yang sejenis yang telah diketahui mempunyai validitas yang tinggi (misalnya tes standar).

4).Construct Validity (validitas konstruk/susunan teori)

Yaitu ketepatan suatu tes ditinjau dari susunan tes tersebut. Misalnya kalau kita ingin memberikan tes kecakapan ilmu pasti, kita harus membuat soal yang ringkas dan jelas yang benar-benar akan mengukur kecakapan ilmu pasti, bukan mengukur kemampuan bahasa karena soal itu ditulis secara berkepanjangan dengan bahasa yang sulit dimengerti.

b).Reliabilitas

Reliabilitas berasal dari kata reliable yang berarti dapat dipercaya. Reliabilitas suatu tes menunjukan atau merupakan sederajat ketetapan, keterandalan atau kemantapan (the level of consistency) tes yang bersangkutan dalam mendapatkan data (skor) yang dicapai seseorang, apabila tes tersebut diberikan kepadanya pada kesempatan (waktu) yang berbeda., atau dengan tes yang pararel (eukivalen) pada waktu yang sama. Atau dengan kata lain sebuah tes dikatakan reliable apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukan ketetapan, keajegan, atau konsisten. Artinya, jika kepada para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan (ranking) yang sama dalam kelompoknya. Contoh

Waktu tes

Nama siswa

Pengetesan

pertama

Pengetesan

Kedua

Ranking

Andi

6

7

3.a

Budi

5.5

6.6

4

Cici

8

9

1

Didi

5

6

5

Evi

6

7

3.b

Fifi

7

8

2

Ada beberapa cara untuk mencari reliabilitas suatu tes, antara lain :

1).Teknik Berulang

Tehnik ini adalahdengan memberikan tes tersebut kepada sekelompok anak-anak dalam dua kesempatan yang berlainan. misalnya suatu tes diberikan pada kepada group A. selang 3 hari atau seminggu tes tes tersebut diberikan lagi kepada group A dengan syarat-syarat tertentu.

2).TeknikBentuk Paralel

Teknik ini dipergunakan dua buah tes yang sejenis (tetapi tidak identik), mengenai isinya; proses mental yang diukur, tingkat kesukaran jumlah item dan aspek-aspek lain.

3).Teknik belah dua

Ada dua prosedur yang dapat digunakan dalam tes belah dua ini yaitu :

<Prosedur ganjil-genap, artinya seluruh item yang bernomor ganjil dikumpulkan menjadi satu kelompok dan yang bernomor genap menjadi kelompok yang lain.

<Prosedur secara random, misalnya dengan jalan lotre, atau dengan jalan menggunakan tabel bilangan random.

a).Objektivitas

Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subyektif yang mempengaruhi. Hal ini terutama pada sistem skoringnya, apabila dikaitkan dengan reliabilitas maka obyektivitas menekankan ketetapan pada sistem skoring, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes. Ada dua faktor yang mempengaruhi subjektivitas dari sesuatu tes yaitu bentuk tes dan penilaian.

b).Praktikabilitas

Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes itu bersifat praktis, mudah untuk pengadministrasiannya. Tes yang praktis adalah tes yang:

1).Mudah dilaksanakannya; misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.

2).Mudah memeriksanya artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal yang obyektif, pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.

3).Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/ diawali oleh orang lain

c).Ekonomis

Yang dimaksud dengan ekonomis ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos/biaya yang mahal, tenaga yang banyak danwaktu yang lama, baik untuk memproduksinya maupun untuk melaksanakan dan mengolah hasilnya.

Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteriates tersebut, sewajarnya dapat dihasilkan alat tes (sosal-soal) yang berkualitas yang memenuhi syarat-syarat dibawah ini :

1).Shahih (valid), yaitu mengukur yang harus diukur, sesuai dengan tujuan

2).Relevan, dalam arti yang diuji sesuai dengan tujuan yang diinginkan

3).Spesifik, soal yang hanya dapat dijawab oleh peserta didik yang betul-betul belajar dengan rajin

4).Tidak mengandung ketaksaan (tafsiran ganda). harus ada patokan; tugas ditulis konkret. Apa yang harus diminta; harus dijawab berapa lengkap

5).Representatif, soal mewakili materi ajar secara keseluruhan

6).Seimbang, dalam arti pokok-pokok yang penting diwakili, dan yang tidak penting tidak selalu perlu.

1).Teknik Nontes

Teknik nontes sangat penting dalam mengevaluasi siswa pada ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan asfek kognitif. Ada beberapa macam teknik nontes, yakni: pengamatan (observation), wawancara (interview), kuesioner/angket (questionanaire), dan analisis dokumen yang bersifat unobtrusive.

a. Observasi

Contoh Pedoman Observasi

Mata Pelajaran: Biologi

Konsep/Subkonsep: 1.1 Vegetatif Buatan

1.1.1. Mencangkok

Kelas: IMA

Hari/tanggal: Ahad, 11 September 2004

Jampel ke-: 1

Nama Siswa: Ali

NO

KEGIATAN/ASPEK YANG DINILAI

NILAI

KET

1

Langkah persiapan (penyiapan alat dan bahan)

….


2

Cara mengelupas kulit bagian luar

….


3

Cara mengelupas kulit bagian dalam

….


4

Cara membersihkan getah/lendir

….


5

Cara menaburkan tanah

….


6

Cara membungkus dan mengikat

….


Jumlah

….


Rata-rata

….


Catatan: >> Pemberian nilai dapat menggunakan angka 1 – 10atau A, B, C, D

Contoh observasi dengan check-list

Mengungkap perilaku/sikap siswa dalam mengikuti pelajaran Biologi

Nama Siswa: Ali

Kelas: II

No

Kegiatan/

Aspek yang dinilai

SL

selalu

Sr

sering

Kd

kadang

TP

tdkprnh

1

Hadir tepat waktu

V

2

Rapi dalam berpakaian

V

3

Hormat kepada guru

V

4

Suka mengganggu teman

V

5

Mngerjakan PR di sekolah

V

Rekap Penilaian

b. Wawancara(Interview)

Contoh Pedoman Wawancara

1. Wawancara Terbimbing (guided interview)

Nama Siswa:

Kelas:

Hari/ Tangal:

Pokok Pembicaraan:

Mengungkap kebiasaan di rumah dan penggunaan waktu luang siswa

  1. Apa yang kamu lakukan sepulang sekolah sampai menjelang tidur?
  2. Apakah kamu suka olahraga, jenis olahraga apa? Adakah jadwal khusus untuk olahraga?
  3. Dalam sepekan berapa kali kamu belajar kelompok? Mata pelajaran apa yang paling sering dibahas bersama?
  4. Adakah kelompok belajar di tempat tinggalmu? Bagaimana peran kamu dalam kelompok tersebut?
  5. Kapan dan bagaimana cara kamu belajar di rumah?

2. Wawancara bebas (unguided interview)

Nama Siswa:

Kelas:

Hari/Tgl:

Pokok Pembicaraan:

Mengungkap tanggapan siswa terhadap kebijakan kepala madrasah tentang Kegiatan Tadabur Alam

(siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dikembangkan lebih jauh atas dasar jawaban sebelumnya, sampai diperoleh kesimpulan yang jelas atau dibatasi waktu)

c. Kuesioner (Questionaire)

Contoh penggunaan kuesioner

Nama Siswa:

  1. Pada waktu melihat sampah bertebaran di jalan, saya berusaha untuk membuang ke tempat sampah:

a.sangat sering

b.sering

c.kadang-kadang

d.jarang

e.tidak pernah

  1. Saya mengerjakan PR setelah teman-teman mengerjakan:

a.selalu

b.sering

c.kadang-kadang

d.jarang

e.tidak pernah

  1. Adam berkata kepada temannya: “Kalau tidak ada PR kita tidak perlu belajar”. Terhadap pernyataan Adam tersebut, saya:

a. sangat setuju

b. setuju

c. ragu-ragu

d. tidak setuju

e. sangat tidak setuju

A.Ringkasan

Atas dasar pemaparan dan pembahasan tentang evaluasi pembelajaran di atas, maka dapat disimpulkan beberapa kajian dan pembahasan yang esensial dari bab ini, yakni sebagai berikut:

1).Dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang digunakan, yakni pengukuran, assessment dan evaluasi

2).Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan penilaian, guruakan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik

3).Evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain (a) untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, (b) untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran yang digunakan, (c) untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya, dan (d) untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa dalam rangka perbaikan.

4).Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas

5).Pelaksanaan evaluasi pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat evaluasi, antara lain, kuesioner, tes, skala, format observasi, dan lain-lain. Dari sekian banyak alat evaluasi, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni alat tes dan nontes