Rabu, 18 Maret 2009

Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD

Slameto

Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.

MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.

Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.

Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.

Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.

Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.

PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :

    1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli
    2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli
    3. Kesegaran hasil yang dicapai,
    4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.

Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.

Siswa kita (baca: Indonesia) Siswa Robotis

Musthofa Agus Suwanto

Siswa sekolah kita (baca: Indonesia) mengalami pendangkalan pemahaman keilmuan. Siswa kita ibarat sbuah "buah" dapat dikatakan matang tidak mentah juga tidak. Pada beberapa kasus ternyata siswa kita saat ini secara tak sengaja tercetak sebagai siswa robotis yang hanya siap menjalankan impuls-impuls yang pernah diprogramkan padanya. Siswa kita hanya melakukan alur yang sesuai dengan cetakan yang kita buat. Padahal siswa kita merupakan asset yang tak ternilai harganya, asset dalam pandangan sebongkah otak yang dikaruniakan kepada setiap kepala siswa kita. Otak bukan robot, otak mempunyai kemampuan yang luar biasa jika dibandingkan robot. Otak mampu berkembang sangat menakjubkan apabila empunya otak mau dan mampu mengembangkannya serta didukung oleh perlakuan yang diterima dari sekitar. Perlakuan disini bisa sekolah, sikap/pendidikan yang diberikan oleh orang tua, kegiatan lingkungan, dan perilkau alamiah dasar manusia yang ingin tahu. : Siswa robotis tampaknya akan semakin terus berkembang biak sangat luar biasa apabila pendidikan kita tidak segera membuat perubahan yang mendasar.

Siswa bukan robot karena siswa mempunyai masa depan sendiri. Kita tidak bisa membentuk masa depan mereka apabila memaksakan. Yang kita lakukan adalah hanya mengarahkan kepada kemampuan apa yang dipunyai dan mampu dikembangkan oleh siswa. Pendidikan berorientasi pada potensi seharusnya yang perlu diberikan kepada siswa kita. Bukan pendidikan berorientasi pada value (nilai raport, ijazah, nem), sebab pendidikan yang berorientasi pada value dapat dan mudah diatur apalagi jika melihat kondisi moral sebuah bangsa yang buruk. Pendidikan berorientasi pada value akan bagus dilakukan apabila moral dan etika yang baik telah melekat erat pada sebuah bangsa. Dan sudah menjadi sebuah rahasia umum jika banyak hasil nilai siswa kita yang diatur sedari awal padahal kalau melihat kenyataannya sebenarnya siswa kita belum mampu apa-apa. : Pendidikan berorientasi kepada potensi adalah melihat siswa dari sisi potensinya yang dapat dikembangkan. Pendidikan berorientasi kepada potensi ini tidak harus dilekatkan pada sebuah pendidikan formal, namun juga pada pendidikan orang tua, perilaku lingkungan media (tv, koran, majalah, dll). Kenapa potensi?

Secara tidak sengaja peilaku lingkungan media kita juga bepengaruh sangat luar biasa terhadap perkembangan siswa, hal ini semakin luar biasa setelah ditambah dengan model pendidikan kita. Siswa dengan sangat mudah membelokkan arah hidupnya menuju kepada perilaku lingkungan yang diterimanya. Televisi adalah contoh utama perilaku lingkungan media yang pengaruhnya sangat luar biasa. Dengan sangat mudah diera global saat ini arus informasi macam apa saja mengalir deras menghantam mata, telinga, dan rasa kita. Setiap hari kita dihantam oleh bermacam informasi. Dari hantaman itu secara tidak sengaja pula mengarahkan potensi kita seperti pada perilaku lingkungan media tersebut. Potensi positif yang seharusnya dapat dikembangkan dari seorang siswa akhirnya tenggelam dan hilang yang justru muncul adalah potensi-potensi negatif yang semakin bercabang-cabang.

Strategi Pengelolaan Kelas Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Di Sekolah Menengah Atas Negeri

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan “Strategi Pengelolaan Kelas Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa”. Peranan guru sebagai manajer dalam kegiatan belajar di kelas sudah lama diakui sebagai salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Guru sebagai tenaga profesional, dituntut tidak hanya mampu mengelola pembelajaran saja tetapi juga harus mampu mengelola kelas, yaitu menciptakan dan mempertahankan kondisi belajar yang optimal bagi tercapainya tujuan pengajaran. Oleh karena itu sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu di semua jenjang pendidikan, penerapan strategi pengelolaan kelas dalam pembelajaran merupakan salah satu alternatif yang diyakini dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang mendasar dari permasalahan pendidikan di tanah air.

Kata Kunci: strategi pengelolaan kelas, prestasi belajar, siswa

Ujian Akhir Sekolah yang disingkat UAS dengan Ujian Akhir Nasional yang disingkat UAN, selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pelajaran oleh semua sekolah mulai dari SD sampai SMA dan SMK. Tujuan utama Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional adalah untuk (a) mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik, (b) mengukur mutu pendidikan, (c) mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagai mana tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 sebagai berikut :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional tersebut Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional berupaya mengadakan perbaikan dan pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia, yaitu dalam bentuk pembaharuan kurikulum, penataan guru, peningkatan manajemen pendidikan, serta pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan pembaharuan ini diharapkan dapat dihasilkan manusia yang kreatif yang sesuai dengan tuntutan jaman, yang pada akhirnya mutu pendidikan di Indonesia meningkat.

Peningkatan mutu pendidikan akan tercapai apabila proses belajar mengajar yang diselenggarakan di kelas benar-benar efektif dan berguna untuk mencapai kemampuan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diharapkan. Karena pada dasarnya proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan, di antaranya guru merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan berhasilnya proses belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu guru dituntut untuk meningkatkan peran dan kompetensinya, guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat yang optimal. Adam dan Decey (dalam Usman, 2003) mengemukakan peranan guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut: (a) guru sebagai demonstrator, (b) guru sebagai pengelola kelas, (c) guru sebagai mediator dan fasilitator dan (d) guru sebagai evaluator.

Sebagai tenaga profesional, seorang guru dituntut mampu mengelola kelas yaitu menciptakan dan mempertahankan kondisi belajar yang optimal bagi tercapainya tujuan pengajaran. Menurut Amatembun (dalam Supriyanto, 1991:22) “Pengelolaan kelas adalah upaya yang dilakukan oleh guru dalam menciptakan dan mempertahankan serta mengembang tumbuhkan motivasi belajar untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan”. Sedangkan menurut Usman (2003:97) “Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif”. Pengelolaan dipandang sebagai salah satu aspek penyelenggaraan sistem pembelajaran yang mendasar, di antara sekian macam tugas guru di dalam kelas.

Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi pengelolaan kelas sangat mendasar sekali karena kegiatan guru dalam mengelola kelas meliputi kegiatan mengelola tingkah laku siswa dalam kelas, menciptakan iklim sosio emosional dan mengelola proses kelompok, sehingga keberhasilan guru dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan, indikatornya proses belajar mengajar berlangsung secara efektif.

Keberadaan SMA Negeri 1 Kepanjen, dengan prestasi akademis yang diraih yaitu perolehan Nun relatif baik, perolehan kejuaraan pelajar teladan, perolehan kejuaraan olympiade ilmu pengetahuan maupun dalam bidang karya ilmiah baik tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Demikian pula berbagai prestasi dalam bidang kegiatan (Non Akademis) diantaranya kejuaraan PMR, Pramuka, Marching Bands untuk tingkat Propinsi, Kabupaten/Kodya. Berdasarkan uraian diatas, maka identifikasi pengelolaan kelas kaitannya dengan proses dan hasil pembelajaran di sekolah, menjadi hal yang menarik untuk dijadikan fokus penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh diskripsi yang jelas dan rinci tentang strategi guru dalam: (1) Membuat perencanaan pembelajaran, (2) Membangun kerjasama dalam pembelajaran, (3) Pemberian motivasi belajar siswa, (4) Menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, (5) Meningkatkan disiplin siswa dan (6) Evaluasi proses belajar mengajar

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dalam bentuk studi kasus. Tehnik penggalian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) wawancara mendalam (in depth interview) yang diperoleh dari: sepuluh guru mata pelajaran, satu konselor sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, kesiswaan, hubungan masyarakat dan sarana prasarana, kepala sekolah dan mantan kepala sekolah, (2) observasi partisipan (participant observation) dilakukan pada saat pembelajaran di kelas, Laboratorium, Perpustakaan dan di ruang tatib, dan (3) studi dokumentasi yang bersumber dari non insani, yaitu dokumen pribadi guru dan dokumen resmi sekolah.

Analisis data dilakukan selama penelitian ini berlangsung dan didasarkan atas langkah-langkah Miles & Huberman (1992), yaitu: (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan menggunkan: (1) derajat kepercayaan (credibility) yaitu trianggulasi dan pengecekan teman sejawat, (2) kebergantungan (dependability), dan (3) kepastian (confirmability)

HASIL

Hasil penelitian sesuai dengan fokus dan berdasarkan paparan data, temuan penelitian adalah sebagai berikut:

Pertama bagaimana strategi guru dalam menyusun rencana pembelajaran?

Strategi menyusun rencana pembelajaran adalah sebagai berikut Kepala sekolah melalui kebijakan yang dituangkan dalam tugas guru, mewajibkan para guru untuk membuat program mengajar yang berupa: silabus, Analisa Materi Pelajaran, Program tahunan, Program Semester, dan Rencana Program Pembelajaran. Pembuatan program pembelajaran disusun secara bersama-sama melalui pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran yang ada di lingkungan sekolah yang selanjutnya dimantabkan melalui pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran tingkat Kabupaten. Selanjutnya perangkat mengajar diserahkan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk dikoreksi dan ditanda tangani oleh kepala sekolah. Pada saat mengajar, para guru selalu membawa perangkat pembelajaran dengan maksud agar proses belajar mengajar berjalan dengan terarah, dan tujuan yang dirumuskan dalam program bisa tercapai. Dan bila selesai mengajar perangkat mengajar disimpan di almari guru masing-masing yang telah disediakan oleh sekolah, dengan demikian bila diperlukan perangkat mengajar sudah ada di sekolah dan terjaga keamanannya.

Kedua, bagaimana strategi guru dalam membangun kerjasama dengan siswa dalam proses belajar mengajar?

Kegiatan guru yang profesional merupakan kegiatan atau tugas guru yang rutin yang dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan profesionalismenya. Mengingat input yang masuk SMA Negeri1 Kepanjen, tiap tahunnya rata-ratanya tinggi, maka untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi akademis siswa, guru berupaya untuk melibatkan siswa secara optimal dalam pembelajaran yang dikelolanya.

Dalam menjalin kerjasama dengan siswa, strategi yang diterapkan oleh guru SMA Negeri 1 Kepanjen adalah sebagai berikut: (a) menjalin hubungan baik dengan siswa, (b) berusaha memahami latar belakang siswa, (c) penguasaan materi dan cara penyajiannya menarik, (d) penggunaan model mengajar yang bervariasi dan (e) memberi pembinaan khusus bagi siswa bermasalah.

Pengembangan sekolah memiliki arti tersendiri bagi sekolah ini, sehingga sekolah tidak hanya menjalin kerjasama dengan siswa saja, tetapi sekolah juga menjalin kerjasama dengan orang tua/wali, perguruan tinggi, instansi pemerintah dan alumni. Adapun bentuk kerjasamanya adalah sebagai berikut: pengadaan sarana dan fasilitas sekolah, rekrutmen calon mahasiswa, penyaluran bakat dan minat siswa melalui kegiatan ektrakurikuler dan pengadaan pembina ekstra kurikuler. Kerjasama dalam hal ini, tidak hanya dilakukan melalui kegiatan pembelajaran di kelas saja, melainkan melalui kegiatan sekolah secara keseluruhan yang mengarah pada upaya peningkatan prestasi belajar siswa.

Ketiga, bagaimana Pemberian Motivasi belajar terhadap siswa

Mengingat input siswa baru yang masuk ke SMA Negeri 1 Kepanjen setiap tahunnya tergolong tinggi, demikian pula secara umum motivasi belajar siswanya bagus, sehingga pemberian motivasi terhadap siswa adalah sebagai berikut: (a) khususnya siswa kelas tiga selalu diberi latihan-latihan soal, (b) pemberian tugas untuk praktek lapangan, (c) mengikut sertakan siswa dalam kegiatan ilmiah, (d) mengkomunikasikan hasil belajar siswa melalui papan pengumuman maupun melalui pertemuan dengan orang tua, (e) pemberian reinforcement, (f) penggunaan media dalam pembelajaran dan (g) pemberian layanan bimbingan.

Dengan pemberian motivasi dalam bentuk pemberian tugas pada siswa, khususnya di SMA 1 Negeri Kepanjen, hasilnya efektif sekali karena dengan strategi tersebut mampu mempertahankan dan meningkatkan prestasi belajar siswa.

Keempat, bagaimana strategi dalam menciptaan Iklim Pembelajaran

Agar pelaksanaan pembelajaran di kelas berlangsung dengan lancar dan efektif, maka pihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah, staf dan guru melakukan upaya berupa: (a) petugas tatib selalu mengantisipasi berkeliling di lingkungan sekolah untuk mengontrol tempat-tempat yang rawan, (b) waka kesiswaan mengadakan razia di dalam kelas dengan dibantu petugas tatib dan guru pembimbing, (c) dalam mengajar guru berusaha memahami karakter siswa, (d) guru berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang demokratis, (e) guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang kesulitan pelajaran atau masalah lainnya, dan (f) guru berusaha menciptakan kemudahan siswa dalam mempelajari pelajaran eksak. Dengan strategi seperti diatas, maka iklim di lingkungan SMA Negeri Kepanjen, memungkinkan terciptanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga siswa merasa senang dan betah berada di sekolah selama jam efektif kegiatan belajar mengajar, bahkan hingga sore hari untuk mengikuti kegiatan tambahan.

Kelima, bagaimana Upaya dalam Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa

Karakteristik SMA Negeri Kepanjen adalah semua warganya mulai dari pimpinan sekolah, guru, karyawan dan siswanya memiliki budaya disiplin yang tinggi. Namun demikian pihak sekolah tetap mempertahankan serta melestarikan budaya disiplin yang sudah bagus ini untuk ditingkatkan menjadi menjadi kultur disiplin yang mandiri. Adapun strategi untuk meningkatkan disiplin, sebagai berikut: (a) sekolah memiliki sistem pengendalian ketertiban yang dikelola dengan baik, (b) adanya keteladanan disiplin dalam sikap dan prilaku mulai dari pimpinan sekolah, guru dan karyawan, (c) mewajibkan siswa baru untuk mengikuti ekstrakurikuler Pramuka, (d) pada awal masuk sekolah guru bersama siswa membuat kesepakatan tentang aturan kelas, (e) memperkecil kesempatan siswa untuk ijin meninggalkan kelas, (f) setiap upacara hari senin diumumkan frekuensi pelanggaran terendah. Dengan strategi tersebut diatas kultur disiplin siswa bisa terpelihara dengan baik, suasana lingkungan belajar aman dan terkendali sehingga siswa bisa mencapai prestasi belajar yang optimal.

Keenam, bagaimana pelaksanaan Evaluasi Proses Belajar Mengajar

Evaluasi dalam pembelajaran di SMA Negeri Kepanjen ada dua macam yaitu: (1) penilaian terhadap hasil belajar siswa, (2) penilaian terhadap proses pengajaran.

Penilaian terhadap hasil belajar siswa baik dari ulangan harian, ulangan semester, Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional menunjukkan hasil yang memuaskan, berdasarkan data perolehan ulangan semester, perolehan Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional, SMA Negeri Kepanjen selalu menduduki posisi rangking 1, 2, dan 3 untuk wilayah kabupaten Malang. (Data dari DikNas Kabupaten Malang).

Penilaian terhadap proses pengajaran, berdasarkan hasil wawancara, observasi peneliti dan supervisi kepala sekolah, bahwa kompetensi guru dalam pembelajaran di kelas sudah bagus sekali, bahkan guru senior selalu menularkan etos kerja yang bagus, baik dalam melaksanakan tugas mengajarnya, tugas mengadministrasi hasil mengajar, maupun tugas tambahan dari sekolah. Demikian juga para guru SMA Negeri 1 Kepanjen memiliki komitmen mempertahankan prestasi sekolah yang sudah bagus ini untuk lebih ditingkatkan lagi sehingga prestasi siswa menjadi optimal. Keberhasilan SMA Negeri Kepanjen dalam mengukir prestasi didukung oleh: (a) input siswa yang tinggi, (b) etos kerja guru tinggi, (c) iklim sekolah yang kondusif, (d) adanya tanggung jawab moral dari guru senior untuk menularkan etos kerja yang tinggi terhadap guru baru, (e) peningkatan profesional guru melalui kegiatan Musyawaah Guru Mata Pelajaran, Diklat dan Workshop , (f) bimbingan belajar bagi semua siswa, (g) bimbingan prestasi bagi siswa peringkat 1-5 dari masing-masing kelas, (h) conversation bekerjasama dengan AMECC, dan (i) debat bahasa Inggris.

PEMBAHASAN

Berdasarkan temuan penelitian tersebut diatas, untuk fokus pertama yaitu strategi guru dalam menyusun rencana pembelajaran? Sebelum tahun ajaran baru, kepala sekolah mengadakan rapat kerja dengan kegiatan membuat rencana kegiatan pembelajaran selama setahun kedepan yaitu menyusun silabus, analisa mata pelajaran, program tahunan, program semester dan rencana program pembelajaran. Semua guru berusaha membuat perencanaan dengan baik, bahkan ada suasana berlomba untuk membuat program mengajar yang baik dan berupaya selesai duluan. Pada hakekatnya bila suatu kegiatan direncanakan lebih dahulu, maka tujuan dari kegiatan tersebut akan lebih terarah dan lebih berhasil. Itulah sebabnya seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengajaran. Sehubungan dengan hal itu David Johnson (1979:9), mengatakan guru diharapkan merencanakan dan menyampaikan pengajaran, karena semua itu memudahkan siswa belajar. Pengajaran merupakan rangkaian peristiwa yang direncanakan untuk disampaikan, untuk menggiatkan dan mendorong belajar siswa yang merupakan proses merangkai situasi belajar (yang terdiri dari ruang kelas, siswa dan materi kurikulum) agar belajar menjadi lebih mudah.

Perencanaan/persiapan mengajar disusun secara bersama-sama dengan guru mata pelajaran yang serumpun yang tergabung dalam MGMP sekolah yang selanjutnya dimantabkan pada pertemuan MGMP tingkat kabupaten. Bahwa selain berguna sebagai alat kontrol, maka persiapan mengajar juga berguna sebagai sebagai pegangan guru sendiri (Hendiyat Soetopo & Wasty S, 1984:136). Demikian pula bahwa mengajar dengan perencanaan/Persiapan yang baik maka pelaksanaan pengajaran menjadi baik dan efektif yaitu peserta didik harus dijadikan pedoman setiapkali membuat persiapan mengajar (Tim Pembina Mata Kuliah Kurikulum. IKIP Surabaya (1988:48)

Untuk fokus yang kedua strategi guru dalam menjalin kerjasama dengan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, guru pada awal kegiatan belajar mengajar berupaya menjalin hubungan baik dengan semua siswa dengan memanfaatkan sedikit waktu untuk mengabsen siswa, juga mengadakan pendekatan dengan siswa dari bangku ke bangku yang lain ketika siswa mengerjakan tugas sambil melihat hasil pekerjaan siswa, seperti apa? mungkin pekerjaan siswa ada yang tidak sesuai dengan petunjuk, nah siswa yang semacam ini yang perlu diarahkan/dibimbing. Temuan peneliti diatas sesuai dengan pendekatan pengelolaan kelas yaitu pendekatan iklim sosio-emosional yang berlandaskan psikologi klinis dan konseling dengan mengasumsikan, bahwa kegiatan belajar mengajar yang efektif mempersyaratkan sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswa juga antara siswa dengan siswa. Untuk tugas guru yang pokok dalam pengelolaan kelas adalah membangun atau menciptakan hubungan interpersonal dan mengembangkan iklim sosio emosional yang positif.

Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar, guru berusaha menyampaikan materi pelajaran dengan suara yang jelas, dengan menggunakan bahasa yang sederhana yang mudah dipahami siswa sehingga mampu menarik perhatian siswa, juga setiap pokok bahasan selalu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, misalnya: manfaat pelajaran bahasa Indonesia agar bisa berbahasa Indonesia yang benar, manfaat kimia untuk industri dan sebagainya.

Model pembelajaran yang diterapkan guru adalah model pemberian tugas secara kelompok, model tutor sebaya. Setiap masuk kelas apakah kegiatan siswa mengerjakan tugas atau praktikum, siswa dikelompok-kelompokkan, setiap kelompok terdiri dari 6-8 siswa dan untuk anak-anak yang pandai disebar, yang nantinya bisa di manfaatkan sebagai tutor sebaya, disini guru berfungsi sebagai fasilitator dan hasilnya akan diinformasikan kepada sesama temannya dengan bantuan siswa yang pandai-pandai yang sebelumnya sudah dikelompokkan.

Untuk mata pelajaran matematika, menggunakan model Grade Level Based Learning (GLBL) dimana kelas dibagi menjadi tiga bagian ada upper, midle dan low kemudian dipadukan dengan model Jigsaw , siswa dikumpulkan dalam tiga tingkatan, papan dijadikan 3 petak dengan diberi soal dengan level yang berbeda sesuai dengan kemampuan siswa, setelah itu dicross kemudian bentuk kelompok baru disitulah mereka saling mengisi, lalu di tes nilainya adalah gabungan dari siswa yang potensinya rendah, sedang dan tinggi. Akhirnya anak yang tidak bisa berusaha mencari tahu dari anak yang pintar, anak yang pintar berusaha memberi ilmunya pada anak yang tidak bisa dengan tujuan agar nilai rata-ratanya baik, sebab nilainya adalah nilai bersama. Jadi anak sepintar apapun kalau tidak berusaha membantu yang kemampuan di bawahnya jatuhlah nilainya, sehingga mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengajari temannya yang nilainya rendah, juga kegiatan presentasi dari masing-masing kelompok diukur sebagai kerja sama (Sardiman,1986).

Untuk fokus ketiga yaitu pemberian motivasi belajar siswa, dalam penelitian ini ditemukan bahwa motivasi belajar siswa SMA Negeri Kepanjen bisa ditumbuhkan melalui latihan-latihan soal, pembelajaran di luar kelas, melibatkan siswa dalam kegiatan ilmiah, mengkomunikasikan hasil ulangan, menggunakan media pembelajaran, memberikan reinforcement dan memberi perhatian terhadap perkembangan prestasi maupun prilaku siswa.

Siswa SMA Negeri 1 Kepanjen rata-rata memiliki motivasi belajar yang tinggi, hal ini peneliti amati saat proses belajar mengajar berlangsung, semua siswa berusaha untuk memperhatikan dan mengikuti semua kegiatan dengan baik, kemudian adanya rasa bersaing dalam mengerjakan tugas maupun mencapai nilai yang baik, oleh karena itu guru berupaya mengelola pembelajaran di dalam kelas dengan menarik, sehingga motivasi belajar siswa tetap terpelihara dengan baik yang pada akhirnya siswa mampu mencapai prestasi yang optimal.(Mc Cleland)

SMA Negeri 1 Kepanjen memiliki target, prioritas siswa kelas III harus mampu menghadapi UAS dan UAN sehingga dalam kegiatan pembelajaran terutama yang berkaitan materi ujian akhir tersebut, setiap guru selalu berusaha memberi latihan-latihan soal baik melalui bimbingan belajar maupun pembelajaran yang efektif, misalnya mata pelajaran matematika kalau ulangan harian diberi soal-soal dengan bobot yang tinggi sehingga mereka mendapat nilai 4,5,6 tetapi kalau sudah ulangan semester mereka yang mendapat nilai 6 itu sedikit sekali, ternyata nilainya lebih bagus. Dengan diberi soal matematika yang bobot kesulitannya tinggi akan merangsang siswa untuk mengajukan berbagai pertanyaan, selanjutnya dijelaskan oleh guru, namun juga dalam latihan-latihan juga diberi soal yang bobot kesulitannya sedang, maupun yang mudah, sehingga anak-anak merasa senang dalam mengikuti pembelajaran matematika.

Mengingat pembelajaran di ruangan kelas kadang kala menjenuhkan, maka untuk menumbuhkan rasa senang belajar di luar kelas dengan memberi tugas melakukan wawancara, membuat kalimat, teks pidato, mendata penjualan di Kopsis . Dengan pembelajaran di luar kelas yang tentunya suasananya beda dan lebih menyenangkan, sehingga akan lebih memacu untuk lebih leluasa dalam mengembangkan aktifitasnya, mengungkapkan pendapatnya yang pada akhirnya siswa merasa lebih fresh dan dampaknya perolehan prestasi optimal.

SMA Negeri 1 Kepanjen merupakan lembaga pendidikan yang sudah mendapat kepercayaan dari berbagai instansi pemerintah dan perguruan tinggi, dalam menghasilkan siswa yang berpotensi, hal ini peneliti ketahui ada undangan dari berbagai instansi untuk mengikuti lomba-lomba ilmu pengetahuan maupun kegiatan ilmiah. Setiap tahun, sekolah memprogramkan pengayaan bagi siswa yang memiliki rangking 1s/d 5 untuk masing-masing kelas, dan mereka dipersiapkan untuk mengikuti lomba ilmu pengetahuan, siswa teladan dan karya ilmiah, baik tingkat nasional, propinsi maupun tingkat kabupaten.

Sekolah juga selalu mengkomunikasikan hasil prestasi belajar siswa melalui papan khusus yang tempatnya di depan ruang tata tertib, papan pengumuman hasil belajar tersebut fungsinya untuk menempelkan perolehan hasil balajar siswa, baik ulangan harian, ulangan per Kompetensi Dasar, ulangan mid semester, semester maupun rangking kelas, rangking paralel serta siswa yang harus mengikuti remedial. Juga mengkomunikasikan pada orang tua melalui buku raport. Pendapat Herzberg, pekerjaan itu sendiri dapat merupakan motivator yang kuat, yang memberikan kontribusi terhadap teori belajar, karena secara tradisional pekerjaan dianggap kebutuhan yang tidak menarik maka dianggap perlu adanya motivasi ekstrinsik.

Guru memiliki peranan kepemimpinan yang hakiki dalam hubungannya dengan produktivitas belajar. Ia memiliki tanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang serentak memenuhi kebutuhan siswa dan kebutuhan tugas. Seorang pelajar jarang menyadari mengapa dia merasa leluasa dan dapat mengoptimalkan kemampuannya, tetapi ia memberi reaksi secara sadar terhadap “suasana yang diciptakan oleh gaya mengelola yang merupakan lambang sikap mendukung” (Gellerman, 1963). Adapun bentuk pemberian motivasi belajar kepada siswa yaitu guru-guru mengadopsi strategi “pengayaan tugas”. Pengayaan tugas mengandung arti bahwa guru mempunyai tanggung jawab yang jelas untuk merancang tugas-tugas belajar sedemikian rupa, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk mendapat pengalaman dan suatu perasaan pencapaian pribadi, penghargaan, tanggung jawab, otonomi, kemajuan dan pertumbuhan.

Memperbaiki faktor kesehatan, seperti pengawasan ketat dan komunikasi yang lebih baik cenderung untuk meningkatkan hasil belajar yang bersifat sementara. Berlainan dengan itu, pengayaan tugas dapat mengakibatkan kepuasan, motivasi dan hasil belajar yang tahan lama.

Dari penelitian Frederick Herzberg dapat diperoleh sebuah model yang berguna dan relevan dengan kegiatan belajar, karena penekanan pada pengayaan tugas memberi kepada guru sebuah strategi yang kuat untuk mengembangkan serta memperkuat motivasi siswa.

Fokus keempat yaitu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif. Untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif di SMA Negeri 1 Kepanjen, temuan peneliti sebagai berikut, bahwa semua warga khususnya yang ada di lingkungan SMA Negeri 1 Kepanjen memiliki budaya disiplin dan tertib dalam melaksanakan tugas, sekolah berupaya menciptakan lingkungan belajar yang aman, menciptakan suasana pembelajaran demokratis, memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang kesulitan pelajaran, menciptakan kemudahan siswa dalam mempelajari mata pelajaran eksak dan senantiasa berusaha untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Salah satu dari program kegiatan team tatib, adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman yaitu dengan cara petugas tatib berkeliling untuk mengontrol kamar kecil, lokasi belakang sekolah, ke kantin sekolah, tempat parkir pada saat proses pembelajaran berlangsung. Sebab siswa seusia ini kadang kala ada yang senang nongkrong di tempat-tempat yang aman menurut mereka, kadang kala petugas tatib menangkap anak yang nongkrong di tempat tersebut sambil merokok, dengan langkah-langkah semacam itu maka bisa mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sekolah, mengadakan razia yang dibantu dengan guru pembimbing selama upacara bersama berlangsung. Dengan suasana lingkungan belajar yang aman siswa bisa mengikuti pelajaran dengan baik yang pada akhirnya bisa mencapai prestasi belajar yang optimal, begitu juga guru bisa menyampaikan materi dengan baik tanpa adanya gangguan dari siswa sehingga proses belajar mengajar bisa berjalan dengan lancar dan target pembelajaran bisa tercapai.

Untuk menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan dan siswa antusias dalam mengikuti pelajaran, seorang guru mengadopsi dari Quantum teaching yaitu menerapkan quesioner quantum dari angket tersebut guru akan mendapat data tentang type belajar siswa, bagaiman type belajar visual, auditorial dan kinestetik. Kemudian data mengenai sifat dan gaya belajar siswa tersebut dipakai untuk meletakkan posisi siswa, bila siswa tergolong visual maka posisi duduknya ditempatkan ditengah, kalau kinestetik ditempatkan di dekat pintu, kalau auditorial di tempatkan di belakang, demikian juga metode mengajarnya juga dibuat bervariasi. Kenyataannya dengan tekhnik-tekhnik semacam itu pembelajaran bias menyenangkan siswa. Selain strategi diatas dengan cara menciptakan suasana pembelajaran yang demokratis dimana semua siswa dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran maupun dalam memecahkan persoalan-persoalan kelas dengan keputusan tetap ada pada siswa dengan guru sebagai fasilitator, hal tersebut didukung oleh Hasibuan (1988:174).

Agar pembelajaran menyenangkan siswa, guru berusaha menciptakan kemudahan siswa dalam mempelajari materi fisika, misalnya pelajaran fisika tidak banyak melibatkan matematika, jadi fisisnya yang ditonjolkan. Apa yang pernah dilihat anak, dikembangkan dalam pelajaran fisika di SMA, karena di SMA pelajaran fisika sudah pernah didapatkan pada pelajaran fisika di SMP, kemudian di SMA ditingkatkan dengan mempraktekkan di laboratorium dan soal-soalnya diharapkan tidak melibatkan materi matematika. Biasanya pelajaran fisika kalau sudah kena matematika, anak akan takut karena tidak bisa menyelesaikan persoalan matematika. Pada awalnya materi untuk siswa kelas X dan XI matematikanya dikurangi, fisisnya ditonjolkan tetapi kalau sudah masuk kelas III baru menggunakan analisa matematika dalam mata pelajaran fisika.

Dalam kegiatan belajar mengajar guru senantiasa berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, kalau saat guru menerangkan materi yang esensial maka suasana menjadi serius, namun juga guru kadang kala melontarkan kalimat-kalimat yang membuat siswa tertawa tetapi masih dalam koridor materi tersebut. Mengingat kelas III adalah sekolah tingkat akhir yang mempunyai beban dan tanggung jawab yang lebih besar, dimana mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional, harus juga merencanakan langkah apa yang harus dilakukan setelah tamat dari SMA. Melihat beban yang harus dihadapi siswa begitu komplek maka guru SMA Negeri 1 Kepanjen juga merasa empati terhadap kecemasan yang dialami siswa, dengan menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa merasa enjoy dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan harapannya bisa mencapai prestasi belajar yang optimal (Walberg & Greenberg, 1977)

Fokus kelima yaitu strategi dalam meningkatkan kedisiplinan siswa yaitu , SMA Negeri 1 Kepanjen mewajibkan semua siswa baru untuk mengisi format pernyataan tentang kesediaan siswa untuk mematuhi semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di SMA Negeri 1 Kepanjen dengan mengetahui orang tua, apabila dikemudian hari siswa melanggar maka siswa harus bersedia untuk menerima sanksi bahkan kalau sering melakukan pelanggaran maka siswa dikembalikan ke orang tua. Demikian pada kegiatan orientasi siswa baru (MOS), mewajibkan siswa baru mengikuti latihan baris berbaris yang dibina oleh guru SMA Negeri 1 Kepanjen yang telah mendapatkan sertifikat pelatihan Latihan Baris Berbaris dengan penyelenggara DokDikJur Rampal Malang. Selanjutnya mewajibkan siswa baru mengikuti ekstra kurikuler Pramuka, karena kegiatan pramuka berisi kegiatan yang membentuk remaja yang memiliki kepribadian yang santun, jiwa patriotik dan pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Kegiatan ini dilaksanakan secara periodik yaitu setiap hari jum’at sore yang dibina oleh alumni yang tergabung dalam DA (Dewan Ambalan), juga ada pembina dari guru-guru SMA Negeri 1 Kepanjen yang aktif dan suka dengan kegiatan Kepramukaan.

Temuan peneliti diatas sesuai dengan pendapat Rohani (2004:22) guru mesti menyadari bahwa tanggung jawab dalam pengajaran khususnya untuk menghantarkan perkembangan dan perubahan lebih maju bagi diri peserta didik tidak boleh menafikan dan melupakan kenyataan bahwa suatu disiplin pada awalnya harus dipaksakan dari luar menuju kearah disiplin mandiri khususnya disiplin yang menyangkut aktifitas dalam kelas pengajaran

Untuk meningkatkan disiplin siswa, SMA Negeri 1 Kepanjen memiliki sistem pengendalian ketertiban yang sudah berjalan dengan baik, sistem ini dilaksanakan oleh petugas tatib bekerja sama dengan wakasek, guru piket, wali kelas, guru pembimbing dan dibantu oleh dua orang petugas satpam dan sebagai penanggung jawab dalam hal ini adalah Kepala sekolah. Petugas tatib bersama satpam setiap pagi berada di pintu gerbang depan dan pintu gerbang belakang, untuk memantau kelengkapan atribut seragam sekolah siswa, apabila menemui siswa yang seragamnya tidak sesuai dengan jadwal, atribut tidak lengkap, siswa terlambat, maka siswa yang melanggar setelah bel masuk dikumpulkan di sekretariat tatib, kemudian disuruh mengisi buku rekaman tentang jenis pelanggaran untuk ditindak lanjuti dengan memberikan sanksi. Secara umum anak-anak sudah memahami karena sebelumnya sudah disosialisasikan tentang tata tertib dan peraturan beserta sanksinya, yaitu mengumpulkan alat-alat kebersihan (misalnya: sapu, sulak, kain pel, keset dsb). Untuk meningkatkan pemantauan terhadap ketertiban siswa, pihak tatib selalu menginformasikan siswa yang melanggar kepada wali kelasnya masing-masing agar segera ditindak lanjuti dengan pembinaan wali kelas sehingga siswa tidak berani mengulangi lagi, namun bila sampai dua atau tiga kali siswa melanggar, maka tatib dan wali kelas mengirim ke guru pembimbing bahkan kalau perlu didatangkan orang tuanya, dengan harapan orang tua ikut membina di rumah.

Khususnya di SMA Negeri 1 Kepanjen, memang pengendalian ketertiban siswa dibuat sedemikian rupa sehingga bisa tercipta suasana yang tertib, aman dan terkendali terutama para guru hampir semua memberi teladan, misalnya begitu bel masuk berbunyi guru sudah berada di depan pintu kelas, demikian juga bel pelajaran berakhir, guru harus sudah mengakhiri sehingga anak-anak mengikuti bahkan begitu bel berbunyi anak-anak sudah ada di dalam ruangan kelas bahkan ada juga guru yang sudah menutup pintu kelas sehingga lima belas menit sebelum bel masuk anak sudah datang di sekolah. Temuan ini sesuai dengan pendapat yang dimuat dalam (Depdikbud, 1999:138), sekolah yang tertib, aman, dan teratur merupakan prasyarat agar siswa dapat belajar secara optimal. Kondisi semacam ini dapat terjadi jika disiplin di sekolah berjalan dengan baik. Kedisiplinan siswa dapat ditumbuhkan jika iklim sekolah menunjukakan kedisiplinan. Siswa baru akan segera menyesuaikan diri dengan situasi sekolah. Jika situasi sekolah disiplin, siswa akan ikut disiplin. Kepala sekolah memegang peran penting dalam membentuk disiplin sekolah, mulai dari merancang, melaksanakan, dan menjaganya.

Fokus keenam yaitu evaluasi proses belajar mengajar Berdasarkan temuan peneliti bahwa evaluasi proses belajar mengajar dilaksanakan pada awal pembelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan materi pertemuan sebelumnya. Kegiatan selanjutnya membahas materi inti yang sudah dipelajari siswa sebelumnya, sehingga saat guru membahas para siswa cepat memahaminya. Setelah itu guru memberikan beberapa persoalan dipapan tulis dengan memberi kesempatan siswa secara bergilir untuk mengerjakan kedepan dan 90% siswa mengerjakan soal tersebut dengan benar. Demikian pula bila melihat hasil nilai ulangan harian, rata-rata nilainya baik ( 85 - 100), dan hasil ulangan harian selalu dibagikan kepada siswa, ulangan semester dilaksanakan secara serempak bersama SMA yang ada di wilayah kabupaten Malang dengan perolehan hasil ulangan semester secara umum kelas X, 2 dan kelas 3 berada pada posisi rangking 1-2 dan data perolehan UAN berada posisi rangking 1-2 untuk wilayah kabupaten Malang. Evaluasi belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru orientasinya pada hasil belajar maupun kepada proses pembelajaran itu sendiri (Glaser,1965).

Kontrol adalah suatu pekerjaan yang dilakukan seorang guru untuk menentukan apakah fungsi organisasi serta pimpinanya telah dilaksanakan dengan berhasil mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Jika tujuan itu belum dicapai, maka seorang guru harus mengukur kembali serta mengatur situasi tetapi ia tidak boleh mengubah tujuannya. Jika seseorang guru mengadakan kontrol, maka ia melakukan: (1) mengevaluasi sistem belajar, (2) mengukur hasil belajar, dan (3) memimpin dengan berpedoman pada tujuan yang tertentu. Dengan jalan demikian, guru-manajer mencoba menentukan apakah kejadian-kejadian sesuai dengan apa yang direncanakan, dan jika terjadi kegagalan diubah menjadi suatu keberhasilan. Hal ini dilakukan dengan jalan memimpin dengan efektif. Hanya efektivitas dia yang dapat mengubah sumber menjadi hasil(Davies,1986:36)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan, pertama strategi guru dalam membuat perencanaan pembelajaran sebelum tahun ajaran baru, kepala sekolah mewajibkan semua guru membuat perencanaan pembelajaran yang meliputi: silabus, analisa materi pelajaran (AMP), program tahunan, program semester, dan Rencana program pengajaran. Pembuatan program mengajar dibuat bersama-sama dengan para guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah yang kemudian dimantabkan pada pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) tingkat Kabupaten. Selain perangkat mengajar, penataan ruangan belajar dan pengaturan siswa di dalam kelas, perlu disiapkan pula. Penataan kelas dan penempatan siswa dalam kelas telah diprogramkan oleh sekolah melalui wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana bekerjasama dengan wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, guru pembimbing (BK) dan wali kelas. Mengajar dengan persiapan materi yang matang, penataan ruang belajar yang baik dan pengaturan penempatan siswa di kelas, maka pembelajaran berjalan dengan lancar dan tertib, demikian juga suasana kelas menjadi nyaman dan siswa bisa mengikuti pembelajaran dengan on task, yang pada akhirnya siswa bisa mencapai prestasi belajar yang optimal.

Kedua Membangun Kerjasama dengan Siswa dalam Pembelajaran. Membangun kerjasama dengan siswa, artinya dalam pembelajaran terjadi interaksi yang komunikatif atara guru dengan siswa. Upaya-upaya tersebut: (a) menjalin hubungan baik dengan siswa melalui kegiatan pembelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler, (b) berusaha menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah di pahami siswa, (c) menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, (d) menggunakan model pembelajaran yang bervariasi. Dengan tategi ini suasana pembelajaran menjadi menyenangkan, sehingga siswa menjadi on task dalam pembelajaran.

Ketiga Pemberian Motivasi Terhadap Siswa, input siswa SMA Negeri Kepanjen, rata-rata tiap tahunnya tinggi, dan secara umum motivasi belajar siswa tinggi pula, maka pemberian motivasi belajar terhadap siswa diberikan dalam bentuk pemberian tugas dan reward: (a) pemberian latihan- latihan soal UAN, (b) pemberian tugas untuk praktek lapangan,(c) mengikut sertakan siswa dalam kegiatan ilmiah, (d) selalu mengkomunikasikan hasil belajar siswa, (e) memberikan penguatan/ reinforcement, (f) pembelajaran dengan menggunakan media, (g) memberikan layanan khusus. Kenyataannya di SMA Negeri 1 Kepanjen dengan pemberian motivasi dalam bentuk pemberian tugas, maka siswa termotivasi untuk mencapai prestasi belajar yang optimal.

Keempat Membangun Iklim Pembelajaran Yang Kondusif Dalam menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif di lingkungan SMA 1

Negeri Kepanjen, strategi yang diterapkan adalah sebagai berikut: (a) petugas tatib selalu mengantisipasi dengan berkeliling untuk mengontrol tempat-tempat yang rawan (kamar mandi, kantin, tempat parkir belakang), (b) mengadakan razia yang dilaksanakan oleh waka kesiswaan bekerjasama dengan petugas tatib dan guru pembimbing (BK), (c) guru berusaha memahami siswa dengan latar belakangnya, (d) guru berupaya menciptakan suasana pembelajaran yang demokratis, (e) guru bersedia untuk membantu siswa dalam memecahkan kesulitan belajar, dan (f) menciptakan kemudahan siswa dalam mempelajari materi pelajaran .

Kelima, Upaya dalam Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa

Karakteristik SMA Negeri 1 Kepanjen adalah semua warganya mulai dari

kepala sekolah, guru, karyawan dan siswanya memiliki budaya disiplin yang baik, adapun upaya dalam meningkatkan disiplin siswa sebagai berikut: (a) sekolah memiliki sistem pengendalian ketertiban yang dikelola dengan baik, (b) adanya keteladanan disiplin dalam sikap dan prilaku mulai dari pimpinan sekolah, guru dan karyawan, (c) mewajibkan siswa baru untuk mengikuti ekstrakurikuler Pramuka, (d) pada awal masuk sekolah guru bersama siswa membuat kesepakatan tentang aturan kelas, (e) memperkecil kesempatan siswa untuk ijin meninggalkan kelas, dan (f) setiap upacara hari senin diumumkan frekuensi pelanggaran terendah. Dengan strategi tersebut diatas kultur disiplin siswa bisa terpelihara dengan baik, suasana lingkungan belajar aman dan terkendali sehingga siswa bisa mencapai prestasi belajar yang optimal.

Keenam, Evaluasi Proses Belajar Mengajar, sebagai seorang manajer pembelajaran di kelas, guru mengadakan evaluasi, baik terhadap hasil belajar siswa maupun terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan perolehan ulangan harian, ulangan semester, Ujian Akhir Sekolah, maupun Ujian Akhir Nasional menunjukkan hasil yang memuaskan. Untuk tingkat wilayah kabupaten Malang perolehan hasil ulangan semester, Ujian Akhir Sekolah, Ujian Akhir Nasional posisi rangking 1,2 dan 3 diraih oleh SMA Negeri 1 Kepanjen.

Keberhasilan SMA Negeri 1 Kepanjen dalam meraih semua ini didukung oleh kinerja guru yang bagus, input siswa tinggi, lingkungan pembelajaran yang kondusif, para guru memiliki komitmen untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Didukung pula oleh peranan kepala sekolah yang mengaktifkan

Musyawarah Guru Mata Pelajaran tingkat sekolah dan mengikut sertakan guru-guru dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan yang mendukung tugasnya

serta menyediakan fasilitas pembelajaran yang menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Saran

Bagi Sekolah. 1) pelaksanaan pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru – guru SMA Negeri 1 Kepanjen sudah berjalan dengan baik, hendaknya ditindak lanjuti dengan supervisi kelas yang dilakukan oleh kepala sekolah maupun instruktur mata pelajaran yang serumpun, 2) untuk meningkatkan kompetensi profesional perlu ditindak lanjuti dengan pengadaan DikLat tentang Quantum learning dan Quantum teaching , 3) salah satu aspek pemberian motivasi belajar siswa adalah tersedianya fasilitas dan media pembelajaran yang memadai di SMA Negeri 1 Kepanjen, oleh karena itu sekolah perlu menyediakan tenaga khusus untuk mengelola laboratorium beserta peralatannya sehingga pada saat guru mengajar fasilitas dan media itu sudah tersedia dan siap pakai, otomatis perawatan dan kebersihan media terpelihara, 4) upaya dalam meningkatkan disiplin siswa di SMA Negeri Kepanjen perlu dicontoh/dipelajari oleh SMA Negeri maupun swasta yang ada di wilayah Kabupaten Malang, baik dalam sistemnya maupun pelaksanaanya. Namun akan lebih kelihatan tertata apabila ruangan tatib diatur sedemikian rupa, pelaksanaan tata tertib dan peraturan sekolah perlu dikelola dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen, 5) dalam Penerimaan Siswa Baru, SMA Negeri 1 Kepanjen sudah waktunya untuk mengembangkan diri yaitu merekrut siswa melalui jalur prestasi akademis maupun jalur prestasi non akademis, karena SMA Negeri 1 Kepanjen dikalangan masyarakat sudah mendapat kepercayaan yang tinggi untuk mendidik putra putrinya menjadi siswa yang berkualitas.

Untuk Dinas Pendidikan, 1) memberikan sumbangan pemikiran dan masukan, peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan manajemen kelas dalam pembelajaran, 2) dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, hendaknya aspek prilaku dan kepribadian tetap menjadi kriteria kenaikan kelas dan kriteria pelulusan , 3) SMA Negeri 1 Kepanjen ditinjau dari komponen-komponen pendidikannya, input maupun para lulusannya memiliki kualitas yang bagus oleh karena itu sudah sepantasnya kalau SMA Negeri 1 Kepanjen dijadikan Pilot Project Sekolah Unggulan.

Untuk Peneliti Lain, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wawasan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan informasi serta referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti kasus-kasus sejenis mengenai Strategi Pengelolaan Kelas dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa.

Pendidikan Indonesia Tak Ajari Siswa Wirausaha

KOMPAS/LASTI KURNIA

Pelajar SMP Terbuka memperagakan pembuatan terarium pada lomba inovasi dan keterampilan SMP Terbuka 2009 bersama Yayasan Sekolah Rakyat di tempat kegiatan belajar mandiri Mutiara Bangsa, Desa Pagelaran, Ciomas, Bogor, Jawa Barat, Rabu (28/1). Kegiatan diikuti sekitar 200 pelajar dari berbagai sekolah di Jabar dan Banten untuk meningkatkan kreativitas dan jiwa kewirausahaan.

/

Rabu, 25 Februari 2009 | 20:44 WIB

SLEMAN, RABU - Proses pendidikan di negeri ini tidak mendidik orang mempunyai cukup bekal berwirausaha. Itu karena siswa dan mahasiswa jarang sekali disentuhkan dengan beban risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian, yang notabene adalah kenyataan hidup.

Hal itu disampaikan pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) yang juga mantan rektor UAJY Slamet S Sarwono, Rabu (25/2), dalam diskusi Menjawab Tantangan Global Dari Jogja Melalui Nilai Budaya Imlek, di UAJY.

Siswa dan mahasiswa mengejar nilai, dosen gampang memberikan nilai A dan B, dan orang tua puas jika rapor dan prestasi akademik anaknya bagus. "Hasil angka yang bagus, tak mendidik anak untuk punya mental bagus kala menghadapi risiko," ujarnya.

Slamet bercerita bahwa ketika ia mengambil gelar doktor di luar negeri, pernah melihat sejumlah temannya yang pulang tanpa membawa gelar. "Di sini, ketika orang mengambil gelar doktor, pasti dapat. Tapi di universitas-universitas luar negeri, belum tentu," ujarnya.

Pegawai negeri sipil (PNS) di luar negeri, kualitasnya jauh dibanding PNS Indonesia. PNS di Kantor Imigrasi Malaysia misalnya, sigap dan aktif melayani. Tak heran jika negara itu maju . Bukan karena penduduknya sedikit maka negaranya maju, tapi karena karakter dan mental warga di sana sudah terbentuk sejak di bangku sekolah, katanya.

Sementara di Indonesia, status sebagai PNS yang mendudukkan orang menjadi tenaga kerja dengan beban kerja nyantai, tanpa parameter pengawasan ketat, dan tanpa resiko dikeluarkan dari pekerjaan, membuat PNS amat kurang punya mental melayani dan berwirausaha.

Sudah Saatnya Kembangkan E-learning di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2008 | 07:47 WIB
Laporan Wartawan Kompas, R Adhi Kusumaputra

JAKARTA, SABTU - Presiden Direktur PT Aplikanusa Lintasarta, Noor SDK Devi (47) berpendapat, sudah saatnya di Indonesia dikembangkan program belajar e-learning. Kerja sama yang dijalin perusahaan penyedia jaringan ini dengan PT Medialand International dan PT Danawa Indonesia, kata Noor, akan memanfaatkan program jarak jauh dengan proses belajar yang interaktif.

"Dengan e-learning, semua bisa belajar di mana saja dan kapan saja, tidak tergantung waktunya. Bisa saat sedang travelling. Bisa juga saat bekerja sehingga tak perlu meninggalkan kantor. Program e-learning lebih luwes. Bahkan siswa atau mahasiswa bisa mengambil kredit lebih banyak," kata Noor SDK Devi, yang mengaku awalnya bercita-cita menjadi guru Taman Kanak-Kanak.

Menurut Noor, Gramedia dapat menjadi motor utama program e-learning karena sumber daya yang luar biasa sudah tersedia. Dengan e-learning, program mencerdask an bangsa dapat dikembangkan. Sebab tidak hanya untuk SD, SMP, SMA tetapi juga untuk mendapatkan gelar S1, S2 bahkan S3 sekalipun.

"Modul e-learning tergantung pada pengelola dan disesuaikan dengan kurikulum. Misalnya Gramedia kerja sama dengan MIT, atau dengan ITB, UI," kata perempuan yang bernama lengkap Noor Suseno Drupadi Krishna Devi itu. Noor menambahkan, program ini semacam virtual university dan jumlah mahasiswanya bisa banyak.

PT Lintas Media Danawa, anak perusahaan baru dari tiga perusahaan besar itu, juga akan mengembangkan bisnis game online . Bentuknya beragam dan sangat canggih. Game online ini bisa dilakukan antarnegara.

Selasa, 17 Maret 2009

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS INDUSTRI

Di era kontemporer ini banyak ditemukan model manajemen dan pembelajaran pendidikan. Munculnya beberapa model tersebut disebabkan oleh kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin menonjolkan sisi modernitasnya. Sehingga dengan demikian manajemen dan pembelajaran dituntut untuk terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia modern.
Salah satu model manajemen pendidikan yang telah banyak mengejutkan para praktisi pendidikan adalah munculnya manajemen pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mengedepankan kualitas mutu institusi pendidikan sebagaimana mutu yang diandalkan dalam sebuah perusahaan. Penerapan manajemen pendidikan ini lebih populer disebut dengan istilah Total Quality Education (TQE). Adapaun dasar yang digunakan dalam pengembangan manajemen seperti ini adalah Total Quality Management (TQM) yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis, kemudian dikembangkan dan diterapkan dalam dunia pendidikan.
Secara filosofis manajemen pendidikan seperti ini menekankan pada kepuasan pelanggan, layaknya sebuah perusahaan yang selalu mengutamakan kepuasan pelanggan (customer). Yakni, institusi memberikan pelayanan (service) kepada pelanggan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pelayanan yang diberikan kepada pelanggan tentunya haruslah bermutu sehingga dapat memuaskan pelanggan. Dengan demikian institusi selalu dituntut untuk memperbaiki kualitas mutu pendidikan demi tercapainya mutu yang baik dan kepuasan pelanggan.
Pelanggan menurut Ali Riyadi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pelanggan dalam (internal customer) dan pelanggan luar (external customer). Yang termasuk pelanggan dalam di dunia pendidikan adalah pengelola institusi pendidikan seperti guru, staff dan penyelenggara institusi. Adapun pelanggan luarnya adalah mayarakat (pelajar), pemerintah dan dunia pendidikan. Jadi, suatu institusi pendidikan dikatakan bermutu apabila kepuasan pelanggan dalam dan pelanggan luar telah terpenuhi.
Oleh karena itu, untuk memposisikan instusi pendidikan seperti industri jasa, maka harus memenuhi standar mutu Total Quality Management, serta harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Secara operasional mutu dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya semua spesifikasi yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa. Menurut Edward Sallis (2008: 7) yang pertama dapat disebut quality infect (mutu sesungguhnya) dan kedua disebut quality in perception (mutu persepsi).
Dalam dunia pendidikan quality infect dapat diukur dengan kemampuan dasar yang dikuasai oleh peserta didik dan kualifikasi akademik lulusan institusi pendidikan terkait. Sedangkan quality in perception dapat diukur dengan kepuasan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan dari institusi pendidikan tersebut.
Selanjutnya dalam operasi Total Quality Management in Education perlu diperhatikan beberapa hal pokok sebagai konsep yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Adapun hal-hal yang pokok tersebut adalah pertama, perbaikan secara terus menerus (continuous improvement). Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola pendidikan hendaknya senantiasa mengadakan perbaikan-perbaikan guna tercapainya mutu pendidikan yang benar-benar berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Adapun perbaikan tersebut membutuhkan introspeksi agar setiap kesalahan yang didapat dalam perjalanannya diketahui dan kemudian terus diperbaiki.
Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance). Ini merupakan konsep mendasar untuk menentukan apakah pendidikan dikatakan bermutu atau tidak tergantung pada standar mutu yang telah ditentukan oleh pihak pengelola institusi pendidikan. Penentuan standar mutu harus memenuhi seluruh aspek yang terdapat dalam pendidikan, mulai dai tujuan hingga pada kurikulum pendidikan yang digunakan dalam institusi tersebut. Selain itu juga perlu ditentukan standar evaluasi yang bisa dijadikan sebagai alat untuk mancapai kemampuan dasar pada peserta didik.
Dan standar mutu proses pembelajaran di sini juga harus menjadi perhatian besar bagi pengelola pendididikan. Seperti, model pembelajaran yang digunakan di sini menurut Dr. A. Ali Riyadi minimal memenuhi beberapa karakteristik, yaitu menggunakan pendekatan pembelajaran aktif (student active learning), pembelajaran koperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstuktif, dan pembelanjaran tuntas (mastery learning).
Ketiga, perubahan kultur (change of culture). Konsep ini bertujuan untuk membentuk dan menanamkan kesadaran kepada seluruh pengurus dan pengelola institusi pendidikan. Di sini pemimpin dituntut untuk terus memotivasi anggotanya agar tetap semangat dan senantiasa menjaga hubungan baik satu sama lain di dalam organisasi intistusi pendidikan.
Keempat, perubahan organisasi (up-down organization). Dalam mata rantai dan sturktur organisasi tradisional pada umumnya pemimpin atau menajer tertinggilah yang mempunyai kekuasaan penuh dan berhak memerintahkan apa saja kepada bawahan. Akan tetapi menurut Edward Sallis (2008: 80) pada kultur organisasi Total Quality Management (TQM) ini bisa digambarkan seperti piramida terbalik, yang paling teratas dalam struktur tersebut adalah pelajar. Dengan demikian, manajer senior tugasnya hanyalah memberikan dukungan dan wewenang kepada pelajar, bukan memerintahnya.
Kelima, menjaga hubungan baik dengan pelanggan (keeping close to be customer). Karena organisasi pendidikan mengedapankan kepuasan pelanggan, maka para pengelola dituntut untuk selalu menjaga hubungan baik dengan masayrakat dan pelajar. Jika tidak ada hubungan yang baik di antara mereka maka mustahil akan terjadi kepuasan pada pelanggan.
Lima faktor pokok di atas hendaknya menjadi perhatian besar bagi para praktisi pendidikan yang menginginkan untuk menerapkan Total Quality Management in Education. Sebab, jika lima hal pokok di atas tidak dilaksanakan dengan baik, maka mutu pendidikan yang diinginkan oleh para pelanggan tidak akan tercapai. Selain itu, perlu disadari menjalankan roda organisasi dalam pendidikan memerlukan manajemen dan pengaturan yang baik. TQM adalah salah satu model manajemen dalam pendidikan berbasis industri yang dapat dikembangkan dalam pendidikan.

Manajemen Berbasis Sekolah

Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manfaat MBS

MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.

Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.

Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.

Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.

Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut(Kathleen, ERIC_Digests, downloaded April 2002).

. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.

. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.

. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.

. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.

. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.

. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah.

Apa pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?

Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.

MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mecakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan ban tuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah. Ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.

Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.

Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah.

Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid di tingkat sekolah menengah. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.

Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.

Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.

Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.

Syarat Penerapan MBS

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup "seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya."

Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.

Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.

. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

Hambatan Dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.

Tidak Berminat Untuk Terlibat

Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

Tidak Efisien

Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

Pikiran Kelompok

Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

Memerlukan Pelatihan

Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru

Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

Kesulitan Koordinasi

Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

MBS dan Prestasi Belajar Murid

MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.

Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar muird. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, downloaded April 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasi-kan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.

Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.

Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.

Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.

Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit murid yang bermasalah.

Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.

Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?

Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.

Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.

Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?

MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.

Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.