Selasa, 17 Maret 2009

.UN, Ada yang Perlu Didiskusikan

Penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun tak pernah berhenti menuai kontroversi. Wacana yang mencuat pada pelaksanaan ujian nasional tahun ini berada di pusaran tuntutan untuk mengevaluasi ujian nasional seperti yang diperintahkan pengadilan tinggi dan ujian nasional sebagai ujian kejujuran semua pemangku kepentingan pendidikan.

Jauh hari sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo gencar mewacanakan bahwa UN bukan sekadar menguji kompetensi siswa dan sekolah, namun yang justru terpenting apakah ada kejujuran selama pelaksanaannya. Pernyataan UN sebagai ujian kejujuran bagi semua pemangku kepentingan pendidikan itu bahkan ditindaklanjuti dengan ketegasan untuk memidanakan siapa saja yang berani menodai kredibilitas penyelenggaraan UN.

Ketika gong UN dimulai dengan pelaksanaan UN SMA sederajat pada 22-24 April lalu, ternyata tetap menuai masalah. Kecurangan terus terjadi dan itu semakin menegaskan bahwa peluang terbesarnya ada di sekolah, terutama oleh guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjaga citra pendidikan.

Kenyataan ini semakin menguatkan tuntutan supaya ada evaluasi serius tentang pelaksanaan UN. Kecurangan yang dilakukan guru demi alasan apa pun sepakat dinyatakan menyalahi hukum. Tetapi, gugatan kemudian berkembang, kenapa pemerintah tak juga mau mengevaluasi penyelenggaraan UN yang setiap tahun selalu membuahkan persoalan yang tidak kondusif bagi kemajuan pendidikan itu?

Yang juga dipertanyakan adalah masalah ketidakpercayaan pemerintah yang begitu besar kepada guru dan sekolah. Seakan-akan buah pendidikan yang dinilai pemerintah belum memuaskan itu harus menjadi tanggung jawab pendidik.

Sementara itu, pembelajaran yang tercipta di sekolah-sekolah lebih pada menyiapkan siswa untuk mampu lolos dari UN. Padahal, pendidikan yang diharapkan itu yang mampu membuat siswa sungguh-sungguh memahami apa yang dipelajarinya sehingga berguna untuk kehidupan dan masa depannya kelak.

S Hamid Hasan, pakar evaluasi kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membenarkan negara dan lembaga independen melakukan evaluasi pendidikan. Akan tetapi, evaluasi yang dimaksud adalah untuk menilai kualitas satuan pendidikan. Adapun untuk menilai hasil belajar siswa, termasuk menentukan lulus atau tidak, tetap merupakan wewenang guru dalam satuan pendidikan.

”Ujian nasional menetapkan keberhasilan orang atas dasar nilai yang diperoleh saat itu atau istilahnya single score. Ini bertentangan dengan prinsip evaluasi dan konstitusi pendidikan,” ujar Hamid.

Perlu dipaksa

Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin, Bambang Sudibyo dengan gamblang menjelaskan pertimbangan pemerintah mempertahankan kebijakan UN. Penyelenggaraan UN dinilai mampu ”memaksa” siswa dan guru untuk disiplin belajar sehingga mampu mencapai standar kompetensi lulusan yang ditetapkan pemerintah demi mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia.

”Masyarakat kita itu perlu dipaksa dulu untuk mau belajar. Inilah mengapa UN itu mampu membuat semua pihak jadi sungguh-sungguh belajar. Jika semua sekolah sudah bagus mutunya, UN tidak diperlukan lagi,” kata Bambang.

Pemerintah, kata Bambang, sangat memahami terjadinya pro-kontra pelaksanaan UN. Kalangan yang menolak UN dinilai mungkin menganggap sekolah di Indonesia sudah cukup baik dan guru serta sekolah bisa mengukur kemampuan siswanya sendiri.

”Saya justru berkeyakinan, ujian nasional itu tetap perlu karena guru dan siswa kita masih perlu dipaksa untuk mau disiplin belajar,” kata Bambang.

Alasan lain UN dipertahankan, menurut Bambang, karena hasilnya mampu meningkatkan penilaian Indonesia di antara negara-negara internasional. Selain itu, dengan ketekunan belajar, tawuran di antara pelajar juga semakin berkurang.

Rata-rata capaian UN SMP dan SMA secara nasional terus meningkat. Pada tahun 2004 di tingkat SMP rata-rata 5,26 pada tahun lalu menjadi 7,02, sedangkan di SMA dari rata-rata 5,31 menjadi 7,14.

Penyelenggaraan UN diakui memang mampu membuat sekolah dan siswa belajar maksimal. Tetapi, belajar yang terjadi sering kali dalam bentuk drilling dan try out. Akibatnya, makna belajar sering kali tereduksi hanya untuk lolos dari ujian.

Inilah sisi lain yang perlu diperbaiki dari UN. Berbagai pihak mestinya duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar