Tampilkan postingan dengan label 3. MANAJEMEN KURIKULUM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 3. MANAJEMEN KURIKULUM. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Mei 2009

Guru dan Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional

Rabu, 27 Agustus, 2008 oleh Bayu Sapta Hari

Guru dan kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dua faktor tersebut. Sertifikasi tenaga pendidikan dan pengembangan kurikulum yang belakangan ini tengah dilakukan adalah upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui dua aspek di atas.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menyoroti peran guru dan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional. Di sini penulis akan memaparkan kondisi yang ada dan perlunya dilakukan usaha untuk memperbaikinya. Analisis yang dilakukan di sini berdasarkan pengalaman penulis dalam pengajaran dan pengembangan buku pelajaran berbasis kurikulum.

Dicari, Guru yang Profesional

Guru adalah komponen penting dalam pendidikan. Di pundaknya siswa menggantungkan harapan terhadap pelajaran yang diajarkannya. Benci atau sukanya siswa terhadap suatu pelajaran bergantung pada bagaimana guru mengajar. Saya katakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam sistem pendidikan. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru dan kharismanya di hadapan siswa.

Sekarang, mari kita tengok bagaimana peranan guru di kelas. Kita harus berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan sebuah pelajaran di sekolah sulit dan tidak menarik minat siswa untuk mempelajarinya. Fakta ini didukung oleh pendapat banyak siswa sekolah yang pernah penulis temui dan pengalaman penulis saat sekolah dulu. Dari pengalaman siswa tersebut, penulis mendapati banyak guru yang tidak punya motivasi dan semangat untuk mengajar di kelas. Entah karena malas atau kurang menguasai materi pelajaran, sering guru tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai dengan waktu yang tersedia. Sering waktu pelajaran di kelas diisi dengan mencatat ataupun mengerjakan tugas tanpa siswa diberi wawasan secukupnya tentang materi tersebut.

Ada juga guru yang untuk menutupi kemalasannya dan ketidakmampuannya menguasai materi memberikan tugas kepada siswa untuk merangkum materi pelajaran atau membuat makalah dengan topik materi pelajaran yang akan diajarkan. Dengan siswa telah membuat rangkuman atau makalah guru menganggap siswa sudah mempelajari materi tersebut dan menganggap siswa sudah mampu menjawab semua pertanyaan yang berkaitan dengan materi tersebut. Wow, hebat sekali ya! (Jadi, ngapain aja tuh guru?)
Guru yang lainnya, untuk menutupi kemalasannya dan kekurangannya, ada yang memanfaatkan otoritasnya dengan bersikap galak kepada siswa. Ini diharapkan dapat menarik perhatian siswa terhadap pelajaran yang diajarkannya sehingga guru akan lebih leluasa mengajarkan materi pelajaran. Tetapi, sikap ini malah menambah kebencian siswa kepada guru sekaligus juga terhadap pelajarannya. Tidak heran ada istilah guru killer untuk menyebut guru yang mempunyai sikap seperti ini, galak, kurang jelas dalam menerangkan materi, dan otoriter. Apakah seperti ini sikap guru yang sesungguhnya?

Wajar saja kalau kegiatan belajar di kelas menjadi kurang menarik dan sulit lha wong gurunya saja tidak pernah memberikan pelajaran sama sekali dan lebih suka marah-marah ketimbang mengajar. Dari mana siswa mendapat tambahan pengetahuan kalau bukan dari guru? Padahal guru bertanggung jawab untuk mengantarkan siswa memahami pelajaran dan membimbing siswa untuk menerapkan pelajaran yang diajarkannya.

Berdasarkan pengalaman penulis, sebenarnya banyak cara, metode, dan sarana yang bisa dijadikan bahan dalam mengajarkan suatu materi sehingga dapat menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, ketika mengajarkan materi termodinamika dalam pelajaran fisika (kebetulan penulis berlatar belakang fisika) seorang guru dapat menganalogikan hukum termodinamika I dengan krupuk yang sedang digoreng. Krupuk yang digoreng (diberi panas) akan mengalami perubahan volume (membesar) dan kenaikan suhu. Ini sesuai dengan hukum termodinamika I bahwa Q = ΔU + P.ΔV (panas Q mengakibatkan kenaikan suhu (energi dalam) ΔU dan pertambahan volume P.ΔV). Bukankah cara ini lebih efektif? Dan banyak lagi contoh yang bisa dipakai.

Tidak pantas bagi seorang guru yang membiarkan siswanya tidak mendapat tambahan pengetahuan. Dan, kebanggaan bagi guru yang mampu menanamkan pengetahuan kepada siswanya dan pengetahuan itu bermanfaat bagi kehidupan di masa yang akan datang. Jadi, kepada guru marilah kita perbaiki sikap dan metode pengajaran yang selama ini kita jalankan dalam mengajarkan satu pelajaran. Dengan memperbaiki sikap dan metode pengajaran kita adalah salah satu jalan untuk membuat pelajaran itu lebih disenangi dan mudah bagi siswa.

Kurikulum yang Tidak Membumi

Tidak salah lagi, kurikulum adalah salah satu penyebab suatu pelajaran menjadi sangat sulit dan berat untuk dipelajari dan karenanya kurang disukai siswa. Di sini penulis mengambil contoh pelajaran fisika dan kurikulumnya sebagai studi kasus.

Kurikulum fisika yang ada tidak seharusnya diberikan pada tingkatan sekolah menengah. Karena menurut kurikulum ini materi pelajaran yang harus diberikan sangat banyak dan terlalu sulit jika dilihat bahwa jam pelajaran yang tersedia sangat terbatas dan siswa pun tidak hanya belajar fisika. Siswa juga harus belajar matematika, biologi, kimia, agama, ekonomi, sejarah dan lain-lain. Jadi, sangat tidak bijak apabila siswa dipaksakan (dijejali) untuk memahami semua materi yang ada di kurikulum.

Materi yang harus dipelajari oleh siswa tentang fisika begitu banyak dan mendetail yang masih perlu dipertanyakan haruskah materi ini diajarkan pada tingkat sekolah menengah. Perubahan kurikulum pada dasarnya tidak banyak mengubah materi pelajaran fisika ini karena hanya mengubah susunan atau struktur materi pelajaran. Perubahan kurikulum tidak pernah sama sekali menyentuh hal apakah materi ini layak dan harus diajarkan pada tingkat sekolah menengah. Pelajaran fisika yang selama ini kita pelajari di tingkat sekolah menengah seharusnya dipelajari di tingkat yang lebih tinggi (apa karena ini siswa kita banyak yang menggondol medali emas olimpiade fisika?).

Kurikulum yang ada selama ini hanya mampu diikuti oleh segelintir siswa saja yang mampu sedangkan sebagian besar siswa tidak dapat mengikuti apa yang ada di kurikulum. Seharusnya kurikulum dibuat untuk dapat diikuti oleh semua siswa, tidak hanya oleh segelintir siswa yang pintar saja. Berdasarkan pengalaman penulis untuk menjelaskan satu bagian (misalnya, hukum termodinamika I) saja dibutuhkan waktu yang cukup lama. Dan belum tentu bisa dipahami oleh semua siswa karena kemampuan masing-masing siswa berbeda-beda. Akibatnya, tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan seluruh materi yang ada dalam kurikulum.

Akan tetapi, karena kurikulum telah dijadikan pedoman dan bahkan seolah-olah bagaikan kitab suci yang wajib digunakan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam kurikulum tidak bisa diganggu gugat. Ini menjadi beban tersendiri buat guru dan siswa.

Menurut pandangan penulis, pelajaran fisika seharusnya diarahkan untuk dapat membantu memecahkan masalah yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran fisika bukan sekedar membahas seluruh aspek dari hukum-hukum fisika secara detil sekaligus menyelesaikan semua perhitungan yang berkaitan dengan hukum tersebut tanpa siswa mengetahui apa manfaat yang nyata dari hukum-hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dikatakan kurikulum yang ada kurang membumi yang membuat siswa kurang berminat mempelajarinya.

Kurikulum yang terlalu padat dan kurang membumi diperparah oleh ketersedian buku sebagai pegangan guru dan siswa dalam pengajaran fisika di sekolah. Ya, harus diakui bahwa buku pelajaran adalah salah satu elemen penting dalam proses pendidikan di sekolah tak terkecuali dalam pelajaran fisika. Di atas telah disebutkan bahwa buku fisika sebagai pengantar memahami pelajaran fisika yang ada tidak representatif. Ini bukan berarti penulisnya yang salah ataupun penerbit yang tidak bertanggung jawab. Penulis maupun penerbit merasa mereka telah membuat buku sesuai dengan kurikulum yang terbaru (kurikulumnya aja ngga jelas!). Dan mereka beralasan buku yang tidak sesuai kurikulum (walaupun lebih membumi dan lebih bisa dibaca (ada ngga ya!)) tidak akan laku dijual. Buku yang sedianya menjadi salah satu elemen penting dalam pendidikan telah terperangkap dalam bisnis semata dan seolah-olah mengabaikan aspek pendidikan. Praktik bisnis ini membuat tidak ada penerbit yang berani membuat buku yang lepas dari pakem dan belenggu kurikulum sehingga buku tersebut bisa lebih membumi dan mudah dipahami.

Salah satu ganjalan lain berkaitan dengan kurikulum yang membuat pelajaran fisika menjadi terlihat sulit adalah adanya ujian nasional (UN) sebagai standar kelulusan. Pelajaran fisika (atau sains pada umumnya) yang sedianya dapat dieksplorasi menjadi lebih menarik terbentur oleh batasan-batasan standar ujian nasional. Dengan adanya batasan-batasan ini guru menjadi terbelenggu dan membatasi pengajarannya hanya pada materi yang diprediksi akan keluar dalam UN. Pengajaran fisika yang dapat diarahkan agar lebih menarik digantikan oleh pembahasan soal-soal untuk menghadapi UN. Keindahan ilmu dan penerapan fisika serta merta akan tertutup oleh kekhawatiran bagaimana menyelesaikan soal UN dengan benar. Tentu saja siswa akan merasa bosan dengan metode pengajaran seperti ini tapi apa boleh buat daripada tidak lulus UN bisa berabe. (Mau ditaruh di mana muka gue kalo ngga lulus UN!)

KURIKULUM DAN TUJUAN PENDIDIKAN

Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA


PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para akhli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

PENGERTIAN KURIKULUM

Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.

Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".

Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada isu berikut ini:

  • filosofi kurikulum
  • ruang lingkup komponen kurikulum
  • polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
  • posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum

Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.

Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".

Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.

Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.

Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para akhli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)

Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.

Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.

Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.

POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.

Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.

Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

  1. peningkatan iman dan takwa;
  2. peningkatan akhlak mulia;
  3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
  4. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
  5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
  6. tuntutan dunia kerja;
  7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
  8. agama;
  9. dinamika perkembangan global; dan
  10. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.

Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.

Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.

Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.

Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM

Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, social, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.




Kurikulum Harusnya Bisa Prediksi SDM Masa Depan

Kamis, 20 November 2008 (Kompas.com)

BANDUNG, KAMIS — Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini diterapkan perlu dievaluasi. Idealnya, kurikulum itu juga mampu memprediksi kebutuhan tenaga kerja di masa depan seperti halnya diterapkan di Malaysia dan sejumlah negara maju lainnya.

Demikian pokok pemikiran yang muncul dalam Seminar Pengembangan Model Evaluasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kamis (20/11) di Gedung JICA Universitas Pendidikan Indonesia. Hadir pembicara pakar kurikulum dari UPI, Universiti Malaya, Malaysia, dan Pusat Kurikulum Depdiknas RI.

Said Hamid Hasan, pakar kurikulum UPI, mengatakan, kurikulum adalah suatu hal yang bersifat dinamis. Menyesuaikan kebutuhan dan tren zaman. "Untuk itu, tidak ada salahnya kurikulum tiap periode disesuaikan. Kalau ganti menteri tidak ganti kurikulum, itu namanya menteri bodoh," ucapnya.

Hanya, kurikulum itu hendaknya tidaklah sekedar menitikberatkan aspek kognitif, apalagi yang sifatnya hanya ingatan dan komprehensi (comprehension) semata. "Inikan suatu masalah. Murid tidak diuji bagaimana memahami. Pendidikan moral misalnya, itu mesti lebih diarahkan ke kognisi. Isinya definisi-definisi. Tetapi, bagaimana caranya agar mereka bisa mengembangkan nilai-nilai itu dalam praktik, nyaris tidak ada," tuturnya.

Di dalam seminar ini, pakar kurukulum dari Malaysia, Saidah Siraj dan Zhaharah Husein berpendapat, di masa-masa mendatang, aspek softskill jauh dibutuhkan daripada kemampuan teknis dan kecerdasan SDM. Softskill yang berupa penguasaaan komunikasi, watak baik, dan kecerdasan emosional, menjadi hal unik yang membedakan dengan SDM lainnya. "Di tempat kami, siswa sejak dini diajarkan softskill dan entrepenurship," tutur Zhaharah.

Bahkan, seperti halnya di Amerika Serikat dan Qatar, pakar-pakar di Universiti Malaya kini tengah merancang kurikulum masa depan yang menggunakan bantuan sistem Delphie dan Cross Impact Analysis (CIA). Sistem ramalan kurikulum i ni biasa diterapkan di bisnis sekuritas dan militer di AS.

Dalam tahap awal, ucap Zharahah, tim pengembang menemukan kesimpulan awal bahwa bentuk pekerjaan di masa depan (10-15 tahun ke depan) bergantung pada kondisi ekonomi bangsa, pasar SDM akan makin berkurang akibat kemajuan teknologi. "Mereka pun menyimpulkan, pendidikan di tingkat dasar (taman kanak-kanak) jauh lebih penting daripada perguruan tinggi. Makanya, di Malaysia sekarang, iuran untuk pre school (TK) bisa tiga kali lipat lebih mahal dari universitas," ucapnya.

Hermana Soemantrie, dari Pusat Kurikulum Depdiknas RI membenarkan, KTSP setelah diterapkan dua tahun perlu dievaluasi efektivitasnya. Namun, terbatasnya pakar dalam bidang evaluasi kurikulum menjadi salah satu kendala.


JON

REFLEKSI (IN BRIEF) KEGAGALAN KURIKULUM 1984 DAN 1994 TERHADAP PELAKSANAAN KBK DAN KTSP

Penulis : Agung (Pendidikan Network)

Pada tahun 1991, Jasin A. menulis sebuah artikel pada harian Suara Pembaruan mengenai kegagalan penerapan (Cara Belajar Siswa Aktif) CBSA yang menjadi landasan pengajaran di era tahun 80an (dikutip dari literatur Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK oleh Nurhadi, et al: 2003). Pernyataan kegagalan dari Jasin tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak keluhan kegagalan dalam menerapkan CBSA. Tidak sedikit pihak yang memandang miring CBSA sehingga pembicaraan mengenai CBSA sebagai cara belajar yang mendorong keaktifan siswa telah dipelesetkan menjadi "Catat Buku Sampai 'Abis". Melihat kegagalan tersebut, sebagai ganti dari kurikulum 1984 yang menggunakan CBSA sebagai model pembelajaran diterbitkanlah kurikulum 1994 yang menekankan azaz kebermaknaan sebagai acuan pemberian materi pelajaran. Dalam kurikulum 1994 ditekankan bahwa siswa tidak lagi menjadi objek pengajaran namun harus berperan aktif dalam proses belajar mengajar atau dengan kata lain siswa harus menjadi subjek dalam proses belajar mengajar. Kemudian, menyusul istilah pembelajaran yang dipakai sebagai terminologi untuk menekankan bahwa dalam proses belajar siswa harus aktif melakukan tindakan belajar - siswa merupakan subjek pembelajaran, sementara guru bertindak sebagai motifator, fasilitator, inspirator dan sekaligus instruktur.

Jika ditelaah dengan cermat, dapat dipahami bahwa kurikulum 1994 yang menekankan aspek kebermaknaan merupakan perbaikan atau penyempurna dari kurikulum sebelumnya yang menggunakan model pembelajaran CBSA. Inti pokok persamaan yang dapat dilihat adalah bahwa 1) siswa menjadi subjek yang berperan aktif dalam melakukan tindak pembelajaran, 2) tindak pembelajaran lebih mengutamakan proses dari pada produk, dan 3) kesalahan yang dilakukan siswa dalam memahami dan atau melakukan proses pembelajaran tidak dianggap sebagai kegagalan namun dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran. Perbedaannya adalah kurikulum 1994 menekankan unsur atau azas kebermaknaan sedangkan CBSA menekankan keaktifan siswa. Dipakainya azas kebermaknaan tersebut tampaknya merupakan koreksi dari CBSA, dimana pada saat model pembelajaran tersebut dipakai, guru-guru merasa kesulitan untuk membuat siswa mereka aktif.

Ketidakmampuan siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar dikarenakan guru tidak mampu memberikan dorongan dan bahan ajar yang dapat menarik siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Disamping guru masih belum dapat meninggalkan cara otoriter dalam mengelola kelas, materi pelajaran yang diberikan masih terpaku pada buku paket yang ada. Permasalahannya adalah isi buku paket tersebut tidak mampu mencakup dasar sosial budaya dan lingkungan di setiap daerah pengguna buku tersebut, sehingga stimulus yang diberikan oleh buku tersebut tidak dikenali oleh siswa. Keadaan ini membuat siswa kesulitan untuk menggali dan kemudian mengintegrasikan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah ada dalam pengetahuan dasarnya (pre-existing knowledge). Hal tersebut diperburuk oleh tindakan guru yang tidak mengetahui cara menyesuaikan apa yang ada dalam buku tersebut dengan situasi dan kondisi pembelajaran. Dengan demikian materi pelajaran yang ada yang digunakan untuk merangsang siswa berperan aktif dalam tindakan pembelajaran tidak memiliki makna yang memadahi bagi siswa sehingga pancingan yang diberikan benar-benar terasa asing bagi siswa.

Kondisi di atas tidak sesuai dengan pandangan teori kognitif yang mulai terdengar seru di Indonesia pada era 80an bahwa siswa belajar berdasarkan pada pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Selain itu, siswa dapat dengan mudah memahami sesuatu bila hal yang dipelajari tersebut dapat mereka temui sebagai pengalaman hidup dalam kehidupan sehari-hari. John Dewey (dalam Nurhadi et,al, 2003) menyatakan bahwa siswa akan belajar dengan baik apa bila yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui. Tentu saja, kepekaan siswa terhadap rangsangan pembelajaran juga sangat dipengaruhi oleh kondisi latarbelakang sosial budaya (socio-kultural) dimana siswa bergerak aktif di dalamnya. Hal ini dinyatakan oleh Vygotsky (dalam Ricardo Shutz,2002) bahwa :

Ketrampilan kognisi dan bentuk pemikiran tidak secara khusus ditentukan oleh faktor bawaan, namun merupakan hasil dari aktifitas yang dilakukan dalam lingkup institusi sosial budaya dimana seorang individu tumbuh. Dengan demikian sejarah sosial di mana seorang anak dididik dan sejarah personal anak merupakan penentu cara berpikir seseorang.

Dari pendapat yang demikianlah kemudian dilakukan perombakan terhadap cara pandang dalam memberikan materi pembelajaran. Dari materi pembelajaran yang didasarkan pada pokok bahasan menjadi materi pembelajaran yang didasarkan pada tema. Sedangkan tema tersebut agar lebih bermakna bagi siswa dan berhubungan apa yang ada dalam ingatan siswa harus mengacu pada keadaan lingkungan pembelajaran. Berangkat dari hal tersebut, digunakanlah muatan lokal sebagai acuan pengambilan tema dan sub tema sebagai sarana untuk menyampaikan materi pembelajaran.

Para praktisi pendidikan, mulai dari tingkat kementrian hingga praktisi pendidikan di lapangan, dalam hal ini guru, menaruh harapan besar pada kurikulum 1994 untuk dapat mencetak manusia cemerlang. Optimisme itu berangkat dari acuan teoritis yang sangat mengesankan terhadap pandangan aliran kognitif yang mampu merobohkan pandangan aliran psikologi behaviorism. Berpijak pada teori yang dinyatakan oleh Vygotsky, Hamachek menyatakan bahwa perkembangan kognisi sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kultural siswa.(1995:164). Alasannya bila individu dihadapkan pada peristiwa (stimulus sebagai tindak pembelajaran) individu akan mengeksploitasi seluruh kemampuan sensoriknya untuk menanggapi peristiwa tersebut. Selain optimalisasi fungsi sensorik, individu juga memanfaatkan background knowledge-nya (baca: pengetahuan latar belakang) dan dorongan emosionalnya untuk membantu fungsi sensorik dalam menanggapi stimulus yang dia terima. Dengan demikian, fungsi sensorik yang beragam (penglihatan , pendengaran, pembau dan pengecap) dengan dibantu oleh dorongan emosional terhadap stimulus yang datang dan hal-hal terkait yang tersimpan dalam memori individu, akan membantu mempermudah individu tersebut mengikat peristiwa yang dihadapi dan dikerjakannya dalam memorinya. Pandangan dari psikologi kognitif sangat sesuai dengan model siswa aktif terhadap tindakan pembelajaran yang melibatkan konten muatan lokal (hal-hal yang mudah ditemui di lingkungan sekitas siswa) sehinggan tindakan pembelajaran merupakan tindakan kebermaknaan (mempunyai makna baik secara akademis maupun secara pribadi) bagi siswa.

Berpegang kuat pada prinsip teoritis di atas, pihak curriculum designer merasa yakin bila hal tersebut dilakukan dengan benar, tujuan untuk membentuk manusia cemerlang bisa terwujud. Namun, pada kenyataannya penerapan dari kedua kurikulum tersebut (1984 dengan CBSA dan 1994 dengan azas kebermaknaan) tidak dapat memuaskan tujuan tersebut. Dinyatakan oleh Nurhadi (et,al 2003) bahwa kondisi pendidikan di Indonesia berada dalam posisi yang memprihatinkan. Human Development Report tahun 2003 versi UNDP menyatakan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada di urutan 112, jauh di bawah Filipina (85), Malaysia (58), Brunai Darussalam (31) dan Singapura (28). Melihat kenyataan ini, pembuat kebijakan pendidikan merasa perlu mengadakan pembenahan. Untuk itu sejak tahun 2000 pemerintah mulai mendengungkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudia disusul dengan isu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada akhir tahun 2006 yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh sekolah di Indonesia pada tahun 2008 (waspada online,2006).

Isu pembaharuan dari kurikulum 1994 hingga KTSP membawa dampak yang sangat kontradiktif. Bagi pihak yang "paham dan meyakini" pemikiran teoritis baru yang dipakai sebagi dasar dari KBK yaitu Contextual Teaching learning, KBK dan KTSP merupakan alasan logis untuk mendongkrak mutu dari hasil pendidikan. Sementara itu, sebagian sangat besar praktisi lapangan (guru) merasa pesimistis dan banyak mengeluh terhadap pelaksanaan Kurikulum baru tersebut. Dari pertentangan ini, kiranya perlu meninjau perlu tidaknya pembaruan kurikulum. Kalaupun diperlukan pembaruan kurikulum, seyogyanya yang menjadi titik tolak tidak hanya terletak pada teori, metode dan pendekatan pembelajaran saja. Namun perlu juga dipertimbangkan aspek lain yaitu infrastruktur pendidikan yang telah kita miliki. Infrastruktur yang dimaksud dalam hal ini adalah kesiapan seluruh elemen yang bertanggung jawab terhadap pendidikan (Pemerintah, sekolah dan masyarakat), kesiapan sarana dan prasarana yang mendukung dilaksanakannya kurikulum yang hendak dipakai dan kesiapan sistem atau managemen dari tingkat pusat hingga tingkat satuan pendidikan untuk mensukseskan pelaksanaan kurikulum yang hendak digunakan.

Pandangan Mengenai Langkah-langkah Pembaruan Kurikulum

Seperti telah diungkapkan dalam sesi sebelimnya bahwa pelaksanaan kurikulum kita kurang memberikan hasil yang memuaskan. Hal itu bisa ditinjau dari rendahnya posisi urutan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia saat ini. Menyadari hal tersebut, pemerintah buru-buru menerbitkan kurikulum baru. Nurhadi etl.al menyatakan dalam konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran (2003:1). Idealnya, bila tiga isu tersebut dapat dipenuhi dengan baik harapan keberhasilan akan dapat diwujudkan. Namun, melihat kondisi lapangan dimana terjadi perselisihan pendapat dan anggapan mengenai KBK dan KTSP, rasanya sulit untuk mengharapkan keberhasilan dari kurikulum yang baru tersebut. Banyak pendapat bermunculan yang mengatakan bahwa kurikulum baru tersebut memiliki format baru namun dalam pelaksanaannya masih bercorak lama. Dengan demikian, tampaknya kegagalan CBSA dan kurikulum 1994 akan terulang lagi.

Dari suatu sumber yang pernah penulis baca dinyatakan bahwa sebelum kurikulum dirancang, terlebih dahulu dilakukan survey secara nasional terhadap kebutuhan hasil pendidikan (need accessment) saat ini dan masa yang akan datang, dan kesiapan perangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran termasuk sistem institusi terkait. Survey nasional mengenai hal-hal tersebut harus didasarkan pada azas kesungguhan dan kejururan untuk memenuhi standar faliditas dan reliabilitas terhadap data yang diperoleh. Faliditas dan reliabilitas data survey yang digunakan sebagai acuan dalam pembenahan kurikulum merupakan pagar pengaman agar bila kebijakan baru diterbitkan kebijakan tersebut tidak memunculkan keluhan dari berbagai pihak. Langkah penting ini tampaknya gagal dilaksanakan di Indonesia sehingga begitu keluar kebijakan baru mengenai kurikulum KBK muncul berbagai keluhan dan rasa pesimistis yang besar lingkungan pendidikan. Seorang guru dari Sekolah Dasar Negeri terbaik di lingkungan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang sempat berbincang dengan penulis pada sekitar tahun 2001 menuturkan bahwa surey dan percobaan pelaksanaan kurikulum baru di kabupaten tersebut dilaksanakan hanya di sekolah tempat beliau mengajar, itupun dipilih murid-murid yang pinter-pinter. Malihat fakta yang demikian tampaknya data yang diperoleh tidak memenuhi standar validitas dan reliabilitas yang diperlukan sehingga tidak mengherankan bila keluhan terhadap kurikulum baru (KBK) terdengar di berbagai tempat.

Acuan Kebutuhan Hasil pendidikan Saat Ini dan Masa Depan

Acuan untuk meninjau kebutuhan hasil pendidikan saat ini di dasarkan pada dua faktor yaitu kondisi riil yang ada dilapangan mengenai mutu proses pembelajaran dan hal-hal yang dipersiapkan untuk menghadapi masa transisi peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum yang baru. Artinya, bila kondisi riil menunjukkan proses pembelajaran di seluruh nusantara ini masih belum memenuhi standard kurikulum yang berlaku saat itu dan tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan ketika kurikulum tersebut diformat maka sebaiknya terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan pelaksanaan kurikulum yang berlaku saat itu. Dengan ini, dapat benar-benar diketahui letak kegagalan dari pelaksanaan kurikulum yang berlaku.

Ada kemungkinan, kegagalan sistem pendidikan Indonesia pada era CBSA dan kurikulum 1994 tidak terletak pada kurikulumnya (landasan teori, pendekatan, teknik pembelajaran dan penilaian) namun boleh jadi hal tersebut diakibatkan oleh sistem seleksi tenaga pendidik yang kurang valid sehingga tidak mampu menyeleksi calon guru yang benar-benar kompeten, sistem pembinaan dan peningkatan mutu guru yang kurang memadahi, sistem supervisi akademik yang kurang pada tempatnya, dana pendidikan dan lain-lain. Sebagai bukti, berikut ini adalah cuplikan berita dari Waspada online (2006):

Mansyur memaklumi banyak guru yang kebingungan dengan model kurikulum KTSP. Sebab selama bertahun-tahun guru hanya menerima jadi kurikulum dari pemerintah pusat. Model KTSP menuntut kreatifitas mereka untuk menyusun sendiri model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal dimana sekolah berada.

Kenyataan di atas tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam kurikulum 1994 bahwa guru diharapkan untuk mengembangkan sendiri tema maupun sub-tema yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan kondisi lingkungan pembelajaran. Pengembangan tema dan sub-tema tersebut tidak berarti bahwa guru menerima jadi secara keseluruhan isi kurikulum yang dipakai saat itu. Tindakan pengembangan tersebut sebenarnya sudah merupakan awal atau latihan untuk menyusun silabus dan kurikulum sendiri. Dan bila sampai sekarang guru benar-benar buta dalam menyusun kurikulum lokal (KTSP), tentu ada permasalahan lain yang harus ditinjau kembali.

Hal-hal yang dipersiapkan untuk menghadapi masa transisi peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum yang baru dapat dipetakan bila pelaksanaan kurikulum yang sedang dipakai sudah memenuhi kriteria. Persiapan tersebut tidak terhenti pada format administrasi untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran namun juga penyesuaian untuk landasan teoritis, pendekatan maupun teknik yang akan dipakai untuk kegiatan pembelajaran nantinya. Sehingga, bila kurikulum baru benar-benar diberlakukan para praktisi pendidikan tidak awam terhadap perubahan yang dikehendaki.

Acuan untuk meninjau kebutuhan hasil pendidikan untuk masa yang akan datang adalah kondisi sosio-ekonomi dan politik di tanah air. Telah disadari bahwa masyarakat adalah pengguna jasa pendidikan, sedangkan pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus memenuhi tuntutan masyarakat termasuk merencanakan masa depan masayarakat sebagi komponen bangsa. Pendidikan berdiri di tengah sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rencana pemerintah untuk masa depan masyarakat dipersiapkan melalui media pendidikan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia Indoneia yang handal. Implementasinya dalam pembelajaran adalah pemerintah menerbitkan kurikulum nasional (core Curriculum) yang berisi rambu-rambu yang mengarah pada penguasaan kompetensi yang dibutuhkan di masa mendatang berdasarkan analisis terhadap penentuan posisi Indonesia diantara negara-negara lain di dunia, dan kebutuhan bangsa dan pasar global di masa mendatang. Rambu-rambu tersebut harus dapat dipenuhi, sementara dalam kurikulum tersebut juga berisikan keleluasaan bagi pelaksana pendidikan untuk mengembangkan kurikulum tersebut sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Dengan cara demikian potensi yang beragam yang menjadi andalan di setiap dearah di Indonesia dapat dioptimalkan. Dalam kurikulum terbaru ini, KBK bisa dibilang sebagai kurikulum nasional (core curriculum) sedangkan KTSP merupakan kurikulum lokal (Local Curriculum). Jadi pada dasarnya kedua kurikulum tersebut adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Sesuai dengan perencanaan pemerintah terhadap masa depan masyarakat Indonesia, dalam kurikulum nasional ditetapkan rambu-rambu yang berisi ketentuan terhadap tujuan umum pendidikan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang. Dalam rambu-rambu tersebut, pemerintah dapat menetapkan kompetensi apa saja yang diperlukan untuk pemberdayaan dan pembangunan negara di masa mendatang dan seberapa besar kualitas kompetensi tersebut diharapkan dapat bersaing dengan kualitas kompetensi dari negara lain sehingga masyarakat Indonesia mampu bersaing dalam dunia global. Kompetensi dan acuan mutu kompetensi tersebut disisipkan dalam kurikulum untuk dijadikan acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sementara itu dalam pelaksanaannya, kurikulum lokal dibuat berdasarkan kurikulum nasional dengan memperhatikan hal-hal yang harus dikembangkan sesuai dengan kompetensi daerah, sehingga masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan secara langsung dapat merasakan dampak positif pendidikan terhadap pembangunan sumber daya di daerahnya. Dengan cara itu, komunikasi antara masyarakat dengan sekolah menjadi erat sehingga terbentuk kerjasama yang sinergis antara institusi pendidikan dan masyarakat. Bila hal ini dapat diwujudkan, institusi pendidikan memiliki peran yang terbuka untuk ikut serta dalam mendukung proses pembangunan di daerah masing-masing sementara masyarakat juga memiliki peran sebagai pengontrol dan nara sumber bagi pengembangan mutu pendidikan. Seperti halnya di negara-negara maju, bila komunikasi pendidikan berjalan lancar - masyarakat sebagai pengontrol dan pendukung penyelenggaraan proses pembelajaran dan sekolah dalam peran dan upayanya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat - ujian nasional yang saat ini berada dalam perdebatan dapat dihapuskan. Ukuran keberhasilan pendidikan tidak lagi hanya dilihat dari output pendidikan namun juga outcome pendidikan.

Kesiapan Perangkat Pendukung Pelaksanaan Pembelajaran

Telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa selain diperlukannya tinjauan untuk kebutuhan hasil pendidikan (need accessment) saat ini dan masa yang akan datang, tinjauan terhadap kesiapan perangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran penting untuk diperhatikan dalam menetapkan kebijakan baru dalam pendidikan, terutama masalah pembaharuan dalam kurikulum. Perangkat tersebut memiliki cakupan yang sangat luas mulai dari institusi pendidikan, masyarakat, hingga pemerintah itu sendiri. Perlu diketahui bahwa pendidikan merupakan langkah pemberdayaan dan pembudayaan bangsa. Oleh karena itu, tiga komponen tersebut - Sekolah, Masyarakat, dan Pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan hasil pendidikan yang diharapkan. Ketimpangan yang ditimbulkan oleh salah satu pihak akan berdampak pada pihak yang lain dalam mewujudkan cita-cita pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia.

Usaha pemerintah dalam mempersiapkan sarana pendukung bagi penyelenggaraan pendidikan adalah pendanaan pendidikan, pengadaan tenaga pendidik, pembentukan sistem program peningkatan mutu pengajaran, pengawasan terhadap kegiatan atau media masa yang memiliki pengaruh terhadap pendidikan. Memang, hal - hal tersebut bukan merupaka item tunggal yang dengan mudah dapat dilaksanakan namun lebih merupakan sistem yang membutuhkan perangcangan, pelaksanaan dan pengawasan yang baik. Oleh karena, upaya tersebut menyangkut tata kerja sistem yang besar dan luas, maka pemerintah harus serius menangani hal ini. Jika pemerintah tidak serius dalam menangani hal tersebut dimana banyak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya, maka di masa yang akan datang kita akan kembali mendapatkan panen hasil pendidikan yang buruk. Perlu disadari sistem kerja manusia Indonesia, baik di pemerintahan maupun instansi lain, yang semrawut dewasa ini merupakan hasil dari pendidikan dengan sistem KKN dan ABS (Asal Bapak Senang).

Pendanaan Pendidikan

Pemerintah memberikan dana pendidikan melalui APBN. Peningkatan dana yang dikeluarkan untuk kebutuhan mengenai sarana dan prasarana pendukung pendidikan telah dilaksanakan. Hal itu berupa dana pengembangan pendidikan, beasiswa, dana BOS dsb. untuk keperluan perbaikan gedung sekolah, pengadaan laboratorium beserta instrumennya, pendukung kegiatan ketrampilan dan sebagainya. Untuk tenaga pengajar diberikan gaji dan tunjangan yang baik agar kinerjanya lebih bagus dan profesional.

Niat dan langkah yang baik tersebut di atas seharusnya tidak terhenti di situ. Kontrol pelaksanaan dan distribusi dana juga mutlak diperlukan. Sebagai salah satu contoh, terdapat kepala sekolah TK yang tidak mengerti bagaimana dana bantuan pengembangan pengajaran dibelanjakan sehingga dana tersebut dipakai untuk memperbaiki gedung sekolah, pada kenyataannya dana tersebut seharusnya dipakai untuk membeli alat-alat belajar (bermain) di TK yang dia kelola. Dengan demikian dana tersebut bisa dikatakan sampai pada tujuannya namun belum tepat sasarannya. Dari contoh kecil ini dapat disimpulkan bahwa pengembangan pendidikan lewat pendanaan berbanding lurus secara signifikan dengan peningkatan SDM pengelola dan pemakai dana tersebut.

Masalah KKN merupaka persoalan yang paling rawan dalam urusan dana. Untuk itu diperlukan pengawasan yang ketat, pemberlakuan aturan dan hukum yang baik dan pemendekan jalur distribusi dana. Urusan birokrasi yang berbelit dengan jalur yang panjang mengakibatkan semakin menipisnya dana yang sampai ke tujuan dan sasaran. Selain itu, perlu juga memilih aparat yang bermoral baik. Hal ini sangat sulit terutama di negara Indonesia. Masalah korupsi di Indonesia sudah bukan terletak pada masalah ada atau tidak ada korupsi, namun lebih terletak pada kepiawaian untuk membuktikan terjadi dan tidaknya tindakan tercela tersebut.

Pengadaan Tenaga Pendidik

Salah satu komponen penting sebagai motor penggerak proses pembelajaran adalah tenaga pendidik atau guru. Kebutuhan guru tidak didasarkan pada kapasitas kuantitafnya namun juga kualitasnya. Selain itu perlu juga dipertimbangkan penyebarannya untuk daerah-daerah yang memerlukan. Pengangkatan guru dengan prioritas penduduk asli/daerah merupakan salah satu usaha yang cukup bagus untuk memenuhi salah satu krieria tersebut. Mengantisipasi perpindahan guru yang terjadi pada masa lalu yang mengerucut kembali ke daerah asal (jawa) lengkah tersebut mutlak diperlukan. Hanya saja, bila sistem rekruitmen dan kontrolnya tidak cukup baik maka justru langkah ini menuai banyak persoalan dan penyelewengan. Dengan jumlah pengangguran yang sangat tidak sebanding dengan lapangan kerja, masalah tenaga kerja menjadi isu yang sangat rawan.

Masalah pengangguran dan angkatan kerja merupakan masalah bangsa. Terbatasnya lowongan dalam hal ini pegawai negeri sipil guru, dikarenakan hal tersebut terkait dengan anggaran belanja negara yang otomatis berhubungan dengan masalah penggajian. Oleh karena konsentrasi yang tidak merata pada setiap kebutuhan daerah maka banyak daerah terpencil yang kekurangan tenaga pengajar. Selain itu, rumitnya masalah penyebaran tenaga pendidik menyebabkan banyak kasus terjadi bahwa seorang guru mengajar bidang pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Seorang lulusan Institusi Pendidikan Keguruan jurusan Teknik Elektro terpaksa mengajar fisika atau seni. Dengan demikian mutu pembelajaran di daerah terpencil tersebut otomatis menjadi tertinggal oleh kemajuan daerah lain.

Selain masalah kuantitas tenaga pendidik, masalah kualitas juga merupakan hal yang krusial bagi peningkatan mutu hasil pendidikan. Hal ini terutama terkait erat dengan sistem dan alat seleksi tenaga pendidik. Isu pengangkatan guru dari tenaga honorer sebenarnya merupakan masalah ketenagakerjaan dan bukan merupakan masalah seleksi terhadap kelayakan tenaga pengajar. Pengangkatan tenaga honorer lebih melihat pada unsur pengabdian dan bila dikaji lebih lanjut, proses rekruitmen untuk tenaga honorer guru tidak melalui test kelayakan. Dengan cara seperti itu, tidak bisa dipastikan bahwa seseorang yang telah diangkat menjadi tenaga honorer benar-benar memiliki kemampuan mengajar yang layak. Hanya saja dalam proses pengabdian tersebut, diharapkan tenaga honorer tersebut belajar dan mendapatkan pengalaman yang memadahi untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, sangat disayangkan banyak tenaga honorer yang tidak diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan ataupun penataran yang diadakan untuk memantapkan pengajaran dan parahnya pengakuan terhadap prestasi yang dilakukan oleh tenaga honorer tidak diberika oleh karena pada pelaksanaannya dalam institusi pendidikan, masih terdapat pembedaan antara hasil kinerja tenaga guru PNS dan tenaga guru honorer.

Syarat pokok menjadi guru adalah penguasaan apa yang harus diajarkan (kemampuan akademik), tahu apa tujuan pengajaran (penguasaan dan pengembangan kurikulum dan bahan ajar), tahu bagaimana cara mengajar (menguasai teori, pendekatan dan teknik mengajar), memahami siapa yang harus dididik (paham mengenai psikologi pendidikan). Tes yang digunakan untuk menguji kelayakan guru dalam rekruitmen tenaga pendidikan seharusnya mencakup semua unsur tersebut. Namun, soal-soal yang diberikan untuk tujuan itu sedikit sekali mengandung unsur-unsur pokok tersebut. Terdapat unsur lain yang disertakan dalam soal tes tersebut yaitu soal-soal untuk tes profesi, pengembangan daya nalar, perundang-undangan dan pengetahuan umum. Ketiga jenis soal tersebut lebih bersifat umum.

Dapat dipahami bahwa dengan soal-soal yang mengarah pada profesi, psikologi dan perundangan dapat ditentukan kualitas calon pegawai sehubungan dengan ketahanan kerja, pemahaman lingkup kerja dan loyalitas pada institusi dimana peserta akan bekerja. Tes daya nalar ditujukan untuk mendapatkan pegawai yang mampu mengembangkan diri dalam proses bekerja. Sedangkan soal yang berisi mengenai pengetahuan umum lebih mengarah pada pemahaman bahwa seorang guru diharapkan tanggap terhadap segala macam hal dan persoalan yang tejadi di lingkungan maupun dunia, sehingga guru benar-benar menjadi sumber ilmu bagi siswanya. Oleh karena soal-soal yang diberikan untuk seleksi tenaga pendidik tersebut hanya sedikit mengandung unsur-unsur pokok yang diperlukan untuk mengetahui kelayakan seorang tenaga pendidik, maka bisa dikatakan bahwa alat ukur tersebut memiliki faliditas yang rendah. Hasil dilapangan dapat dengan mudah diketahui bahwa guru-guru baru yang lolos tes seleksi pada kenyataannya tidak mampu menunjukkan kapasitas yang diharapkan sehingga muncullah alasan klasik terhadap kondisi itu yaitu guru baru tersebut belum cukup berpengalaman.

Pembentukan Sistem Program Peningkatan Mutu Pengajaran

Program pembedayaan sumber daya manusia melalui program pengembangan atau perubahan kurikulum tidak akan dapat berhasil tanpa pembentukan sistem yang baik. Program peningkatan mutu pengajaran dapat dilakukan melalui penataran, diklat, lokakarya, seminar, KKG, rapat dewan guru, pengawasan dan supervisi pendidikan dan lain-lain. Kegiatan tersebut sudah dilakukan di Indonesia, namun apakah kegiatan tersebut telah dilakukan dengan benar? Apakah orang-orang yang ditunjuk melakukan pembinaan benar-benar kompeten dalam melaksanakan tugasnya dan menyesuaikan konten tugasnya dengan permasalahan yang dihadapi oleh peserta pembinaan tersebut? Dan apakah sistem yang digunakan sudah cukup bagus dalam memenuhi kebutuhan pengembangan/peningkatan mutu pengajaran ?

Peningkatan Mutu Pengajaran, termasuk sosialisasi kebijakan pendidikan yang baru dilakukan melalui penataran, yang diperkuat dengan loka karya dan atau seminar. Nara sumber atau penyaji dalam penataran tersebut merupakan orang-orang pilihan yang dianggap mumpuni dalam permasalahan yang sedang dibahas baik secara teori maupun praktek. Namun, sejauh ini banyak keluhan mengenai penyajian dalam penataran maupun seminar. St Kartono dalam situs internet mengungkapkan kekecewaan guru-guru di Jogjakarta setelah menerima sosialisasi KBK :"Aku pikir mereka akan berbicara tentang semangat baru sebuah kurikulum dan berbagai pendekatan kepada siswa. Ternyata, yang namanya sosialisasi kurikulum baru oleh para pengawas dari Dinas Pendidikan hanyalah bicara hal-hal administratif belaka." Pernyataan tersebut bukan merupakan hal yang baru. Pada masa-masa sebelumnya di berbagai daerah sering kali terjadi keluhan semacam itu. Hal semacam inilah yang membuat kegiatan penataran menjadi kurang efektif dan dapat menurunkan semangat peserta penataran.

Kegiatan penataran maupun sosialisasi kurikulum baru mestinya tidak berhenti pada urusan administrasi belaka. Melihat tulisan Saudara St Kartono di atas, bisa dipahami bahwa penyaji dari Dinas Pendidikan tersebut tidak memahami apa yang ada dalam kurikulum secara mendalam. Banyak penyaji dalam penataran hanya membacakan landasan teori maupun batasan administratif. Mereka tidak menghubungkannya dengan tindak pengajaran secara langsung. Dengan demikian apa yang didapat dari penataran ternyata tidak applicable dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Permasalahannya adalah penyaji dalam penataran tersebut bukanlah seorang pengajar sehingga mereka tidak mengetahui secara persis kondisi lapangan. Selain itu mereka hanya mempelajari acuan administrasi yang nota bene merupakan barang mati yang tidak dapat memenuhi standar pemecahan masalah dalam pelaksanaan pembelajaran. Ahli yang ditunjuk sebagai nara sumber dalam penataran dan sejenisnya bukan merupakan ahli dalam pengajaran namun cenderung ahli dalam bidang administrasi atau hafal pernyataan - pernyataan yang lebih bersifat teoritis.

Usaha peningkatan mutu pengajaran tidak terhenti pada tingkat penataran hingga seminar karena tidak semua guru memiliki kesempatan untuk mengikutinya. Untuk memenuhi usaha tersebut diadakan pertemuan rutin para guru (KKG) untuk menyebarkan informasi yang didapat dari penataran tersebut. Bisa dikatakan bahwa KKG merupakan kepanjangan tangan dari penataran yang telah diberikan. Namun, bagaimana kegiatan semacam ini efektif bila pihak yang membawa oleh-oleh dari penataran juga masih bingung atau hanya berkutat di seputar urusan administrasi? Hal ini mengakibatkan kegiatan KKG menjadi ajang temu kangen, arisan maupun GO SHOW (gosip show) diantara para guru yang penat dengan kebingungan mereka.

Pola supervisi akademik yang selama ini diterapkan ikut berperan dalam carut marut pemberdayaan guru. Dari apa yang diungkapkan oleh St Kartono di atas, terbukti bahwa pengawai yang juga supervisor akademik hanya paham mengenai urusan administrasi. Dari poin ini dapat dilihat bahwa supervisi akademik terhenti di urusan administrasi. Hal ini melahirkan budaya yang lebih menekankan pada pentingnya pelengkapan administrasi dari pada tindak pengajaran. Tak pelak lagi, guru lebih terkonsentrasi pada pemenuhan kelengkapan administrsi dari pada peningkatan mutu pengajaran untuk mengejar karir mereka.

Sedikit Pandangan Mengenai Sipervisi Akademik

Supervisi akademik yang selama ini dijalankan ternyata tidak membawa kemajuan yang signifikan pada peningkatan mutu pembelajaran. Hal ini dikarenakan tindakan supervisi tersebut hanya menekankan pada aspek administrasi dan kelengkapan sarana pendukung pembelajaran. Tinjauan yang tertumpu pada aspek administrasi dilakukan berdasarkan asumsi bahwa dengan melihat kelengkapan administrasi tersebut, terutama pada lesson plan dapat diketahui bagaimana langka-langkah dan pola pembelajaran yang didesain oleh seorang guru. Asumsi semacam ini menyesatkan karena banyak bukti guru hanya mencontoh bentuk lesson plan yang sudah ada yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan kondisi pada saat ini. Ada kalanya, ketika seorang guru menanyakan perihal kiat-kiat pembelajaran yang efektif berdasar pada kondisi yang dia alami, supervisor atau pengawas tersebut justru tidak paham (dan biasanya tersinggung). Ini merupakan titik konflik yang berbahaya yang akhirnya menumbuhkan budaya KKN dan SST (sama-sama tahu).

Sistem pengawasan langsung (direct accademic supervisory) tersebut tidak efektif karena pengawas yang merupakan kepanjangan tangan dari Kantor Cabang Dinas Pendidikan tidak mampu memberikan solusi maupun pandangan yang berarti bagi peningkatan mutu pembelajaran. Kantor Cabang Dinas Pendidikan memiliki tanggung jawab untuk ikut serta dalam peningkatan mutu pembelajaran di wilayahnya tidak hanya melalui pengawasan namun juga pembinaan guru. Pada sudut pandang tertentu keterbatasan tenaga kerja dan tenaga ahli di Kantor Cabang Dinas Pendidikan dapat dijadikan alasan akan ketidakmampuannya dalam memberikan pembinaan yang memadahi bagi para tenaga kependidikan di wilayanhnya. Oleh karena itu sistem pengawasan langsung tersebut sudah tidak layak dipertahankan lagi.

Salah satu alternatif pengganti sistem pengawasan langsung adalah sistem pengawasan dan pembinaan siklus (circle accademic supervisory). Sistem pengawasan dan pembinaan siklus merupakan sistem pengawasan dan pembinaan yang dilakukan dengan menggandeng institusi lain untuk membantu memberikan saran dan pembinaan terhadap peningkatan mutu pengajaran. Institusi yang ditunjuk untuk kerja sama ini misalnya perguruan tinggi lokal atau lembaga swadaya masyarakat yang tentu saja memiliki kapabilitas yang memadahi, bertanggungjawab, memiliki kredibilitas dan dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan mutu pendidikan di daerah tersebut.

Sistem pengawasan dan pembinaan siklus ini dapat dimulai dari pihak sekolah yang mengirimkan permohonan pembinaan untuk mata pelajaran tertentu kepada Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Selanjutnya, Kantor Cabang Dinas Pendidikan memberi mandat pada institusi yang telah ditunjuk untuk melakukan pembinaan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Mekanisme pelaksanaan pembinaan tersebut dapat dimusyawarahkan antara pihak sekolah-sekolah yang membutuhkan, institusi yang ditunjuk sebagai pembina dan Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Institusi yang mendapat mandat untuk memberikan pembinaan pada guru-guru lokal yang membutuhkan, bertanggung jawab pada Kantor Cabang Dinas Pendidikan atas peningkatan mutu pembelajaran di daerah tersebut. Sebagai evaluasi terhadap kegiatan tersebut, Kantor Cabang Dinas Pendidikan melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap hasil kerja institusi pembina dengan mengadakan kaji silang antara program yang disusun oleh institusi pembina dan sekolah dengan peningkatan yang terdapat pada tindak pembelajaran serta out put dan out come pembelajaran.

Pengawasan Kegiatan Umum atau Media Masa

Pembentukan generasi yang unggul dan berorientasi masa depan dapat dilakukan dengan proses pembudayaan melalui pendidikan. Selain itu, media masa baik cetak maupun elektronik dan kegiatan yang bersifat umum juga memiliki pengaruh yang besar bagi proses akulturasi atau pembudayaan tersebut. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dalam melakukan sensor terhadap bentuk kegiatan umum dan penyajian dalam media masa. Kebebasan pers dan kegiatan umum harus diorientasikan pada bentuk kegiatan yang mendukung proses akulturasi yang dicanangkan pemerintah.

Kebebasan pers dan pengadaan kegiatan yang bersifat umum saat ini benar-benar menjepit pemerintah, sehingga kedudukan dan peran pemerintah dalam hal ini benar-benar dilematis. Sebagai contoh, banyak sekali acara di media elektronik yang tidak mendukung dan bahkan mengganggu proses pembudayaan. Dengan kata lain, banyak kegiatan umum dan penyiaran yang tidak mendidik. Dengan demikian himbauan untuk mengambil bahan pelajaran dari lingkungan atau dari materi yang autentik, bila tidak disertai kepekaan dan ketelitian yang baik justru akan berakibat tidak baik.

Kesimpulan

Keraguan terhadap efektifitas KBK dan KTSP dalam meningkatkan kualitas pendidikan bukan merupakan sentimen yang muncul di kalangan praktisi pendidikan (guru) atas kebijaksanaan pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya tinjauan yang kurang lengkap dan pelaksanaan yang kurang memadahi mengenai usaha peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Tiga elemen yang bertanggungjawab dalam pendidikan yaitu pemerintah, sekolah dan masyarakat memiliki beban yang sama dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Usaha tersebut mencakup perancangan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap sistem luas yang terkonsentrasi dan mendukung terhadap terwujudnya generasi masa depan yang kompetitif di era globalisasi.

Usaha peningkatan mutu pendidikan menyangkut aspek yang sangat luas dalam kehidupan bernegara. Usaha tersebut tidak terhenti pada tinjauan teoritis praktis pada tindak pembelajaran di kelas, namun mencakup perikehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Infrastruktur pendidikan yang berupa sistem terkait mulai dari pemetaan kondisi pelaksanaan pendidikan dan orientasi kebutuhan masa depan bangsa akan sumber daya manusia, pelaksanaan praktik pembelajaran dan pemenuhan kebutuhan pendukungnya, pengkondisian seluruh unsur dalam masyarakat untuk mendukung ketercapaian tujuan pendidikan mutlak diperlukan lebih dari sekedar reaksi yang membabi buta terhadap kegagalan pendidikan dan tanggapan prematur terhadap konsep atau teori pembelajaran baru yang diformat dalam pembaharuan kurikulum. Bila visi pemerintah dalam mewujudkan terciptanya sumber daya manusia Indonesia masa depan yang unggul telah diwujudkan dalam tujuan umum kurikulum pendidikan, maka pemerintah perlu menyusun dan melaksanakan misi dari visi tersebut dengan meminjau dan melibatkan seluruh komponen yang bertanggungjawab pada pendidikan yaitu pemerintah sendiri, sekolah dan masyarakat.