Sabtu, 18 April 2009

Ketika Ujian Nasional Sebuah Keharusan

Kompas
Rabu, 16 Februari 2005

Oleh Haidar Bagir

SETAHUN yang lalu saya pernah menulis artikel di koran ini yang isinya
mempertanyakan beberapa hal mengenai ujian akhir nasional atau UAN.
Kesimpulan saya waktu itu: UAN dapat bermanfaat jika ia dilihat lebih
sebagai assessment atas standar pendidikan di Indonesia, bukan sebagai alat
evaluasi proses pembelajaran. Atau, kalaupun mau dipakai sebagai alat
evaluasi, hendaknya ia tak dijadikan (satu-satunya) penentu kelulusan.

Selain itu, kurikulum, mata pelajaran, materi soal-soal ujian nasional (UN),
dan cara penilaian mesti diperbaiki. Saya tulis artikel ini untuk
mempertegas pandangan saya itu dan menempatkannya dalam perdebatan mutakhir
mengenai masalah ini. Meminjam istilah yang dipakai dalam "Tajuk Rencana"
Kompas (Sabtu, 5/2/2005), demi make the best of it. Maka, kritik terhadap UN
dalam artikel ini harus dilihat sebagai bahan untuk mendapatkan format
assessment dan evaluasi yang terbaik.

Sebelum yang lain-lain, barangkali sejak awal kita perlu bertanya: setelah
sekian puluh tahun UAN, ebtanas, atau apa pun namanya, dilaksanakan di
negeri kita, apakah mutu pendidikan kita sebagai bangsa memang membaik? Saya
kira semua orang akan sepakat bahwa jawabannya negatif, dilihat dari segi
akademik maupun karakter (akhlak). Juga, dalam hal inovasi, kreasi, tanggung
jawab sosial, disiplin, dan hal-hal lain yang justru merupakan tujuan puncak
semua proses pendidikan. Belum lagi jika kita kaitkan dengan kemampuan
kompetisi kita secara internasional.

ADA dua hal yang bisa disimpulkan dari sini : Pertama, tak ada yang tak
setuju-termasuk para penentang UN- bahwa kita harus punya semangat bekerja
keras kalau mau sukses. Persoalannya, apa betul UN (sendirian) bisa membuat
orang bekerja keras? Setiap orang yang terlibat langsung di dunia pendidikan
tahu bahwa yang terjadi dengan adanya UN adalah justru manipulasi nilai.
Maka, jangan-jangan, bukan saja berbagai bentuk ujian nasional gagal
meningkatkan semangat bekerja keras dan prestasi akademik, ia malah "sukses"
dalam meningkatkan kemerosotan karakter.

Kedua, peningkatan mutu akademik terletak bukan hanya pada UN, melainkan
juga pada banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan
dalam jangka panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan
pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Selama
kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana
pendidikan miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna,
korupsi merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk
sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat
akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh
dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi
faktor, UN tak akan banyak bermanfaat, kalau tak malah merugikan. Memang tak
ada jalan pintas dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita.

Lalu, sistem kelulusan (semata-mata) berdasarkan UN secara frontal
bertentangan dengan prinsip penilaian berbasis portofolio yang menjadi salah
satu kelebihan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang
didengung-dengungkan. Sebaliknya, dari menempatkan seluruh kinerja dan karya
siswa selama jangka waktu pendidikan sebagai dasar penilaian, menjadikan
sekali-dua UN sebagai penentu kelulusan justru membuyarkan itu semua.

Yang tak kalah pentingnya adalah persoalan kualitas soal UN. Boleh jadi,
soal seperti apa pun-selama ia memiliki tingkat kesulitan yang tinggi-akan
bisa menyaring yang punya kengototan belajar dari yang tidak. Tapi, tak
berarti ia bisa menghasilkan siswa-siswa terbaik. Apakah yang berhak lulus
dengan nilai bagus adalah memang siswa-siswa yang menguasai hafalan dan
berbagai materi akademik dalam kurikulum kita yang amat mubazir beban,
sebagaimana biasa diujikan dalam berbagai bentuk ujian nasional selama ini?

Ataukah siswa-siswa yang mampu lulus ujian sejenis SAT (standard aptitude
test) dan memiliki prestasi di bidang olahraga, musik, komunikasi, kemampuan
riset dan kreatif, serta berbagai kemampuan nonkognitif lainnya, sebagaimana
yang selama ini telah diterapkan di negara-negara maju, seperti di AS dan
Eropa? Belum lagi kalau kita masukkan faktor-faktor leadership, tanggung
jawab sosial, dan berbagai aspek karakter lainnya.

Daftar keberatan terhadap UN ini saya kira masih bisa diperpanjang. Nah,
apakah dengan demikian UN tidak perlu? Jawabannya, bisa saja masih perlu.
Pertama sebagai alat assessment kualitas pendidikan kita. Atau, kalau mau
dijadikan alat evaluasi proses belajar juga, perlu dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: pertama, UN tidak ditempatkan sedemikian sehingga secara
sendirian menentukan kelulusan. Kedua, materi soal-soal UN dirancang
sedemikian sehingga tepat dan relevan dengan tujuan pendidikan kita. Ketiga,
kalau UN memang mau dipertahankan, soal-soal UN jangan hanya mencakup tiga
mata pelajaran, tapi semua saja pelajaran, plus faktor-faktor yang saya
sebutkan di atas. (Kenapa mesti tiga itu saja yang dianggap penting? Mana
itu segala perbincangan tentang pendekatan multiple intelligences yang juga
menjadi salah satu andalan KBK?). Keempat, cara evaluasi mesti memberikan
tempat yang sama pentingnya terhadap ranah afektif (sikap) dan psikomotorik
(praktik), di samping kognitif (mental).

AKHIRNYA, sebuah usulan tambahan. Saya kira lebih banyak perhatian perlu
diberikan kepada ujian masuk perguruan tinggi (inilah yang, antara lain,
diterapkan di AS-yang sebagian besar negara bagian di negeri ini yang,
setahu saya, tak punya UN-dan beberapa negara lain yang lebih maju dari
kita). Semua tujuan UN bisa dicapai melalui ujian masuk PT, plus beberapa
manfaat lain: pertama, kemungkinan terjadinya praktik-praktik korupsi dalam
pelaksanaannya lebih kecil. Masih terkait dengan itu, kontrol terhadap
obyektivitas lebih mungkin dilakukan. Dan, sejauh ini, di PT-PT kita,
keinginan kuat untuk mendapatkan siswa terbaik saya kira masih cukup besar
sehingga dapat mengendalikan berbagai kelemahan setiap sistem UN.

Kedua, PT saya kira masih lebih "pragmatis"-sehubungan dengan hal
ketepatgunaan materi soal dan kebutuhan- dalam mencari siswa yang
dianggapnya paling layak menjalani pendidikan di dalamnya. Perlu saya
tambahkan di sini, sebagian PT kita sekarang sudah mulai melakukan tes
dengan model yang mendekati apa yang diterapkan di LN (yakni berdasarkan
rapor dan/atau cenderung berorientasi SAT). Tinggal ditambah alat lain untuk
menguji berbagai kemampuan lain, seperti tersebut di atas. Dunia perguruan
tinggi saya kira sudah lebih dulu menyadari kelemahan berbagai bentuk UN
dibandingkan sistem pendidikan dasar dan menengah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar