SETAHUN yang lalu saya pernah menulis artikel di koran ini yang isinya mempertanyakan beberapa hal mengenai ujian akhir nasional atau UAN. Kesimpulan saya waktu itu: UAN dapat bermanfaat jika ia dilihat lebih sebagai assessment atas standar pendidikan di Indonesia, bukan sebagai alat evaluasi proses pembelajaran. Atau, kalaupun mau dipakai sebagai alat evaluasi, hendaknya ia tak dijadikan (satu-satunya) penentu kelulusan.
Selain itu, kurikulum, mata pelajaran, materi soal-soal ujian nasional (UN), dan cara penilaian mesti diperbaiki. Saya tulis artikel ini untuk mempertegas pandangan saya itu dan menempatkannya dalam perdebatan mutakhir mengenai masalah ini. Meminjam istilah yang dipakai dalam "Tajuk Rencana" Kompas (Sabtu, 5/2/2005), demi make the best of it. Maka, kritik terhadap UN dalam artikel ini harus dilihat sebagai bahan untuk mendapatkan format assessment dan evaluasi yang terbaik.
Sebelum yang lain-lain, barangkali sejak awal kita perlu bertanya: setelah sekian puluh tahun UAN, ebtanas, atau apa pun namanya, dilaksanakan di negeri kita, apakah mutu pendidikan kita sebagai bangsa memang membaik? Saya kira semua orang akan sepakat bahwa jawabannya negatif, dilihat dari segi akademik maupun karakter (akhlak). Juga, dalam hal inovasi, kreasi, tanggung jawab sosial, disiplin, dan hal-hal lain yang justru merupakan tujuan puncak semua proses pendidikan. Belum lagi jika kita kaitkan dengan kemampuan kompetisi kita secara internasional.
ADA dua hal yang bisa disimpulkan dari sini : Pertama, tak ada yang tak setuju-termasuk para penentang UN- bahwa kita harus punya semangat bekerja keras kalau mau sukses. Persoalannya, apa betul UN (sendirian) bisa membuat orang bekerja keras? Setiap orang yang terlibat langsung di dunia pendidikan tahu bahwa yang terjadi dengan adanya UN adalah justru manipulasi nilai. Maka, jangan-jangan, bukan saja berbagai bentuk ujian nasional gagal meningkatkan semangat bekerja keras dan prestasi akademik, ia malah "sukses" dalam meningkatkan kemerosotan karakter.
Kedua, peningkatan mutu akademik terletak bukan hanya pada UN, melainkan juga pada banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan dalam jangka panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Selama kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana pendidikan miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna, korupsi merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi faktor, UN tak akan banyak bermanfaat, kalau tak malah merugikan. Memang tak ada jalan pintas dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Lalu, sistem kelulusan (semata-mata) berdasarkan UN secara frontal bertentangan dengan prinsip penilaian berbasis portofolio yang menjadi salah satu kelebihan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang didengung-dengungkan. Sebaliknya, dari menempatkan seluruh kinerja dan karya siswa selama jangka waktu pendidikan sebagai dasar penilaian, menjadikan sekali-dua UN sebagai penentu kelulusan justru membuyarkan itu semua.
Yang tak kalah pentingnya adalah persoalan kualitas soal UN. Boleh jadi, soal seperti apa pun-selama ia memiliki tingkat kesulitan yang tinggi-akan bisa menyaring yang punya kengototan belajar dari yang tidak. Tapi, tak berarti ia bisa menghasilkan siswa-siswa terbaik. Apakah yang berhak lulus dengan nilai bagus adalah memang siswa-siswa yang menguasai hafalan dan berbagai materi akademik dalam kurikulum kita yang amat mubazir beban, sebagaimana biasa diujikan dalam berbagai bentuk ujian nasional selama ini?
Ataukah siswa-siswa yang mampu lulus ujian sejenis SAT (standard aptitude test) dan memiliki prestasi di bidang olahraga, musik, komunikasi, kemampuan riset dan kreatif, serta berbagai kemampuan nonkognitif lainnya, sebagaimana yang selama ini telah diterapkan di negara-negara maju, seperti di AS dan Eropa? Belum lagi kalau kita masukkan faktor-faktor leadership, tanggung jawab sosial, dan berbagai aspek karakter lainnya.
Daftar keberatan terhadap UN ini saya kira masih bisa diperpanjang. Nah, apakah dengan demikian UN tidak perlu? Jawabannya, bisa saja masih perlu. Pertama sebagai alat assessment kualitas pendidikan kita. Atau, kalau mau dijadikan alat evaluasi proses belajar juga, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: pertama, UN tidak ditempatkan sedemikian sehingga secara sendirian menentukan kelulusan. Kedua, materi soal-soal UN dirancang sedemikian sehingga tepat dan relevan dengan tujuan pendidikan kita. Ketiga, kalau UN memang mau dipertahankan, soal-soal UN jangan hanya mencakup tiga mata pelajaran, tapi semua saja pelajaran, plus faktor-faktor yang saya sebutkan di atas. (Kenapa mesti tiga itu saja yang dianggap penting? Mana itu segala perbincangan tentang pendekatan multiple intelligences yang juga menjadi salah satu andalan KBK?). Keempat, cara evaluasi mesti memberikan tempat yang sama pentingnya terhadap ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (praktik), di samping kognitif (mental).
AKHIRNYA, sebuah usulan tambahan. Saya kira lebih banyak perhatian perlu diberikan kepada ujian masuk perguruan tinggi (inilah yang, antara lain, diterapkan di AS-yang sebagian besar negara bagian di negeri ini yang, setahu saya, tak punya UN-dan beberapa negara lain yang lebih maju dari kita). Semua tujuan UN bisa dicapai melalui ujian masuk PT, plus beberapa manfaat lain: pertama, kemungkinan terjadinya praktik-praktik korupsi dalam pelaksanaannya lebih kecil. Masih terkait dengan itu, kontrol terhadap obyektivitas lebih mungkin dilakukan. Dan, sejauh ini, di PT-PT kita, keinginan kuat untuk mendapatkan siswa terbaik saya kira masih cukup besar sehingga dapat mengendalikan berbagai kelemahan setiap sistem UN.
Kedua, PT saya kira masih lebih "pragmatis"-sehubungan dengan hal ketepatgunaan materi soal dan kebutuhan- dalam mencari siswa yang dianggapnya paling layak menjalani pendidikan di dalamnya. Perlu saya tambahkan di sini, sebagian PT kita sekarang sudah mulai melakukan tes dengan model yang mendekati apa yang diterapkan di LN (yakni berdasarkan rapor dan/atau cenderung berorientasi SAT). Tinggal ditambah alat lain untuk menguji berbagai kemampuan lain, seperti tersebut di atas. Dunia perguruan tinggi saya kira sudah lebih dulu menyadari kelemahan berbagai bentuk UN dibandingkan sistem pendidikan dasar dan menengah kita.
saya dilahirkan di sebuah kota yang penuh sesak dengan kepadatan penduduknya yaitu JAKARTA, tepat pada tanggala 8 April 1989 saya dilahirkan ke dunia ini dengan selamat, saya menghabiskan masa TK-SD di daerah ROXY JakPus dan setelah lulus SD orang tua saya memutuskan untuk pindah ke daerah tangerang tepatnya di kawasan komplek pondok bahar jl.garuda III L/48, saya menghabiskan masa SMP-SMA di JakBar, setelah lulus dari SMA saya melanjutkan pendidikan ke salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta yaitu UNJ jurusan Manajemen Pendidikan. Dari kecil sampai sekarang cita-cita saya selalu berubah-ubah, dulu ketika TK-SMP saya bercita-cita menjadi seorang pramugari, namun lambat laun keinginan itu berubah, ketika SMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar