Sabtu, 18 April 2009

Kurikulum Sekolah Internasional Harus Mengacu Kultur Timur

TANGERANG, KOMPAS--Kurikulum sekolah internasional dan sekolah nasional plus di Indonesia harus tetap mengacu pada kultur dan budaya timur. Hal ini penting agar anak Indonesia tetap menyadari akar budayanya.

Mari Elka Pangestu mengungkapkan hal ini dalan seminar pendidikan internasional di Stella Maris School, BSD City, Tangerang, Banten, Sabtu (7/10) siang. Mari Pangestu datang bukan sebagai Menteri Perdagangan tetapi sebagai orang tua, juga sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri di tiga negara berbeda.

Mari menceritakan pengalamannya sejak usia 9 tahun sudah sekolah di luar negeri selama 20 tahun. "Saya pindah sembilan kali di tiga negara. Saya taruh di mana saja, bisa survive. Kemampuan kita menghadapi perubahan dan mengadaptasi perubahan itu memberi pendidikan dasar yang baik bagi saya," ceritanya.

Tapi, persoalannya, tidak semua anak bisa menghadapi dan mengadaptasi perubahan. "Karena itu sangat penting bagi kita orang tua untuk membekali anak-anak kita tentang hal ini, bagaimana memahami, menyesuaikan diri dalam konteks perubahan," jelas Mari Pangestu.

Ia bercerita pula, "Ketika kembali ke Indonesia dan meraih gelar doktor, saya mengajar di UI, tapi saya tidak bisa berbahasa Indonesia. Orang pikir saya sok berbahasa Inggris, tapi saya memang tak mengerti bahasa Indonesia. Saya betul-betul mengalami culture shock waktu itu."

Ketika menghadiri seminar-seminar, Mari waktu itu aktif bertanya karena pendidikan yang dia terima di luar negeri, siswa memang harus aktif bertanya dan bersikap kritis. "Tapi di Indonesia, sikap kritis acapkali dicap negatif," ujarnya.

"Akhirnya saya paham, kita tetap harus berbasa-basi. Jadi yang ingin saya tekankan di sini, jika sekolah ingin membuat kurikulum internasional, kurikulum itu harus tetap mengacu pada kultur timur. Keseimbangan ini sangat penting," kata Mari Pangestu.

Kurikulum tak hanya di bidang akademik, tapi juga kegiatan ekstrakurikuler agar terjadi keseimbangan. "Bukan cuma mengejar ranking 1 atau 2 di kelas, tapi melihat bagaimana effort-nya, dan mengembangkan kreativitasnya," jelas Mari.

Dia mengalami tiga sistem pendidikan yaitu Singapura, Australia dan Amerika Serikat. "Singapura itu kejam sekali. Sistem pendidikannya berorientasi pada akademik, bagaimana menjadi yang terbaik. Australia bisa mengembangkan hubungan guru dan murid dengan sangat baik. Sedangkan Amerika Serikat sangat individualistis. Kekeluargaannya sangat kurang," ceritanya.

Menurut Mari, sampai saat ini hubungannya dengan profesornya di Australia masih baik dibandingkan dengan yang di AS. Mari mengingatkan pesaing-pesaing kita seperti China dan Singapura, mendidik siswa sangat keras dan berdisiplin.

"Mereka pandai-pandai secara akademis, tapi belum tentu kreatif. Social skill-nya belum tentu bagus. Kalau keluar dari formula, mungkin mereka bingung. Anak-anak Indonesia harus mendapatkan keduanya. Itulah tantangan globalisasi di dunia pendidikan kita," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar