Sabtu, 18 April 2009

SEKOLAH-SEKOLAH DENGAN KURIKULUM ASING

Oleh : smadua
Sumber : Jawa Pos (17 Februari 2005)

Banyak sekolah di Indonesia yang mengadopsi kurikulum negara-negara maju. Dengan embel-embel sekolah internasional atau sekolah nasional plus, mereka menjanjikan pendidikan yang lebih maju dibanding sekolah-sekolah umum lainnya. Guru-guru asing pun didatangkan.

Sering kita dengar istilah sekolah international, sekolah nasional plus, sekolah standar nasional, dan sekolah standar internasional. Masing-masing punya ciri tersendiri. Tidak banyak masyarakat yang tahu arti dari masing-masing istilah tersebut. Bahkan, ada sekolah yang memasang embel-embel tertentu tetapi sebenarnya standarnya tidak memenuhi.

Di beberapa kota ada sekolah yang menyebut dirinya sekolah internasional. Modalnya cuma punya satu bule dan pelajarannya memakai bahasa Inggris. Tentu saja hal ini menyalahi aturan. Sebab, pendirian sekolah internasional tidaklah mudah. Banyak kriteria yang harus dipenuhi. Izinnya juga langsung dari menteri pendidikan nasional.

Salah satu contoh sekolah internasional adalah Surabaya International School (SIS) di Citra Raya International Village, Surabaya. Sekolah ini berdiri pada 1971 dengan nama American Consulate School. Sejak 1977, sekolah ini berubah menjadi Surabaya International School. Memang diperuntukkan bagi warga asing di Surabaya, ujar Hj Hestyawati S., business manager SIS.

Sekolah yang didirikan melalui Keputusan Mendiknas Nomor 04201/Q/77 ini mendapat akreditasi dari Western Association of School and College, sebuah lembaga akreditasi internasional yang berada di Amerika. Saat ini siswa pribuminya juga mulai ada, meski jumlahnya sangat sedikit. Saat ini sekolah ini memiliki 230 siswa, mulai dari Preparation (Pra TK) hingga grade 9 (setara SMA).

Untuk anak Indonesia, syarat pendaftarannya juga tidak mudah. Anak Indonesia yang ingin bersekolah di SIS harus mendapat surat rekomendasi dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) di Jakarta. Selain itu, masih ada persyaratan administratif seperti paspor, kartu susunan keluarga (KSK) dan akta kelahiran.

Sebagai sebuah sekolah internasional, kurikulum yang diberikan untuk anak-anak itu tentu bukan kurikulum Indonesia. Di SIS tidak diajarkan pendidikan agama dan PPKn. Bahasa Indonesia justru menjadi salah satu pelajaran bahasa asing. Kurikulum dan sistem kami mengacu pada kurikulum Amerika, kata Hesty.

Di negeri Paman Sam itu, menurut Hesty, tak ada kurikulum baku yang ditentukan oleh pemerintah. Setiap sekolah mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan kemampuan dan minat siswa. Oleh sebab itu, di sana tak ada ujian akhir yang bersifat nasional. Demikian juga di SIS. Lulusan kami hanya menerima ijazah berdasarkan ujian yang kami buat sendiri, jelasnya.

Lalu, bagaimana nasib lulusan SIS? Dengan kurikulum yang berbeda dengan sekolah-sekolah di Indonesia, tentu tidak mudah bagi anak-anak SIS untuk pindah sekolah. Itu disadari betul oleh pihak sekolah. Siswa kami orientasinya meneruskan sekolah ke luar negeri.

Sekolah lainnya yang menyebut diri sebagai sekolah internasional adalah Singapore National Academy (SNA) yang terletak di kawasan Pondok Maspion. Sesuai dengan namanya, sekolah ini jelas menggunakan kurikulum Negeri Singa itu. Tidak hanya soal ujiannya yang harus diimpor dari Singapura. Text book (buku paket, Red) yang kami gunakan, sama persis dengan yang digunakan anak-anak di Singapura, jelas Lye Weng Hon, principal (kepala sekolah).

Berdasarkan kurikulum Singapura, ujian akhir secara nasional dilakukan saat lulus sekolah dasar. Ujiannya bernama PSLI (Primary Level Leaving Examination). Kami sudah mendapat akreditasi untuk menyelenggarakan ujian itu di sini, kata Sophy Alim, general manager.

Jadi, siswa di sana tak perlu terbang ke Singapura jika ingin menempuh ujian PSLI. Namun, walaupun PSLI merupakan ujian nasional, siswa SNA tetap tak wajib menempuhnya. Biasanya, siswa hanya menempuhnya untuk mengetahui standar kemampuan mereka, sambung Sophy. Dan biasanya, siswa yang sekolah di sana adalah mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke Singapura.

Untuk sekolah nasional plus beda lagi. Salah satunya adalah IPH (Intan Permata Hati), sekolah Kristen nasional plus yang menyelenggarakan pendidikan dari playgroup hingga SMP.

Menurut Denny, finance manager IPH, kurikulum yang digunakan di sekolahnya tetap menggunakan kurikulum nasional. Hanya, bahasa pengantar di sekolah ini adalah bahasa Inggris. Sebagian siswa di IPH adalah anak-anak ekspatriat yang ada di Indonesia. Ada siswa dari Thailand, Korea Selatan, Amerika Serikat, India, Jepang, dan Vietnam. Tapi mayoritas tetap siswa dari Indonesia, kata Denny

Untuk menunjang status sebagai sekolah nasional plus, IPH juga menggunakan tenaga pengajar dari luar negeri. Beberapa guru direkrut dari Filipina dan Amerika Serikat. Tahun ini, kata Denny, IPH merekrut guru dari India.

IPH juga menjalin kerja sama dengan Nambour Christian College (NCC) Australia. Dengan kerja sama ini, siswa IPH bisa meneruskan studi di NCC tanpa down grade (turun kelas). Misalnya di IPH selesai kelas 4, jika pindah ke NCC bisa langsung kelas 5, tanpa harus tes maupun mengulang di kelas 4 lagi, jelasnya

Keuntungan lain dari kerja sama ini sekolah bisa tukar menukar guru maupun siswa dengan mudah. Selain itu, kami juga saling adopsi kurikulum maupun teknik mengajar, tambahnya.

Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Choirul Anam mengatakan, sebenarnya Depdiknas tidak punya kriteria sekolah nasional plus. Hal itu, kata Choirul Anam merupakan pengembangan kurikulum yang dilakukan sekolah masing-masing. Kebetulan jumlah sekolah yang menyebut diri sekolah nasional plus cukup banyak, katanya.

Jenis yang terbaru, kata Choirul Anam, justru Sekolah Standar Nasional (SSN). Ini khusus bagi SMP. Depdiknas telah menunjuk masing-masing dua sekolah di tiap Kabupaten/Kota, untuk menjadi SSN. Di Surabaya, SMPN 1 termasuk salah satu sekolah yang ditunjuk menjadi SSN. Sekolah ini dijadikan acuan sekolah lain di daerahnya, kata Choirul Anam.

SSN berbeda degan Sekolah Nasional Plus. Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Drs Sahudi MPd menjelaskan ada persyaratan khusus untuk menjadi SSN. Misalnya, guru-guru di sekolah tesebut harus memiliki sertifikat mengajar. Fasilitas dan sarana sekolah juga harus memadai. Yang paling penting prestasi nasional harus pernah diraih dalam jumlah tertentu, jelasnya.

Satu lagi, yakni Sekolah Standar Internasional (SSI). Menurut Sahudi, setelah menjadi SSN, sekolah harus mengejar status SSI. Caranya, sekolah harus mendapat akreditasi dari lembaga akreditasi internasional. Bahasa pengantar di SSI juga memakai bahasa Inggris, katanya. (tomy c. gutomo)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar