Minggu, 24 Mei 2009

Program Buku Sekolah Elektrik: Orangtua Siswa Masih Akan Membayar Mahal

March 23, 2009

Rab A. Broto, Pengamat Perbukuan dan Direktur www.klikbuku.com

Pemanfaatan buku sekolah elektronik (BSE) pada Tahun Ajaran 2009/2010 masih terkendala banyak soal. Sejumlah hal mendesak yang perlu segera diatasi adalah koordinasi antarinstansi dan perlunya penerapan aturan yang lebih tegas untuk mendorong pejabat berwenang di sekolah menggunakan BSE.

Menjelang TA 2009/2010 masalah pungutan sekolah akibat mahalnya buku pelajaran tampaknya masih menjadi momok bagi orangtua siswa. Betapa tidak karena sejauh ini jaringan kolusi penerbit-Dinas Pendidikan-pemerintah daerah-pejabat sekolah tampaknya masih kuat bercokol. Singkat kata praktik business as usual masih berjalan sehingga buku ajar milik penerbit masih akan mendominasi.

Sinyalemen ini terutama dari fakta bahwa banyak penerbit yang masih mempunyai—bahkan bisa jadi menambah—stok buku ajar terbitannya sendiri. Menurut perkiraan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Setia Dharma Madjid, bila 250 penerbit (dari 900-an) anggota Ikapi masing masing memiliki stok dua juta. eksemplar buku, maka saat ini ada sekitar 500 juta buku pelajaran yang tidak terjual.

Menurut Setia Dharma penerbit buku pelajaran juga kesulitan menjual buku ke sekolah karena ada aturan yang melarang guru dan sekolah terlibat dalam proses distribusi buku (Kompas, 24/11/2008). Namun sejumlah pihak di Solo dan Jakarta mengindikasikan bahwa larangan guru dan sekolah terlibat dalam proses distribusi buku tampaknya macan kertas belaka.

Hasil pengamatan di sedikitnya 10 penerbit buku pelajaran di Solo menunjukkan bahwa gudangnya masih penuh dan tenaga pemasarannya masih bergerilya seperti biasa ke sekolah-sekolah. “Kami masih punya banyak stok buku pelajaran terbitan sendiri. Pokoknya tahu sama tahu saja dengan pihak sekolah untuk membuat buku terbitan kami dipakai,” kata salah seorang tenaga pemasaran yang ditemui.

Tetapi, menurut tenaga pemasar yang lain, ada penerbit yang juga menawarkan buku BSE. Jadi biasanya guru memakai dua buku panduan, yaitu buku non-BSE milik penerbit sendiri dan buku yang diproduksi dari softcopy BSE yang diunduh gratis lewat internet. “Namun tentu saja kami lebih mengutamakan produksi sendiri karena keuntungannya jelas lebih besar. Beda dengan BSE yang sudah ada harga eceran tertingginya.”

Jalan sendiri-sendiri
Soal lain yang sangat disayangkan masih terjadi terkait pengadaan buku pelajaran yaitu kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah sendiri. Seperti biasa, setiap instansi seperti jalan sendiri-sendiri: pemerintah pusat sudah membeli hak cipta buku pelajaran senilai puluhan miliar, sementara pemerintah daerah tetap ‘mendanai’ penerbitan buku ajar milik penerbit.

Sejumlah penerbit yang juga menawarkan buku yang hak ciptanya sudah dibeli pemerintah atau BSE melalui tender menyebut pembiayaannya lewat mekanisme DAU (Dana Alokasi Umum). Namun sejauh ini tak diperoleh data sejauh mana atau berapa banyak judul buku BSE—dari 407 judul yang kata Mendiknas sudah bisa diunduh gratis pada pernyataan bertanggal 20/8/08 di situs BSE–yang penerbitannya dibiayai APBN.

Jelas langkah tersebut menegaskan kecenderungan penyelewengan di setiap instansi. Di sisi hulu terkait penentuan buku mana yang layak dibeli hak ciptanya, sedangkan pada sisi hilirnya pengadaan buku ajar masih diwarnai tindakan kurang transparan yang terutama melibatkan pengusaha, aparat pemda, Dinas Pendidikan setempat, dan pengurus sekolah–dalam memutuskan buku dari penerbit mana yang akan dipakai.

Pertimbangannya tentu saja mana yang paling menguntungkan bagi semua pihak yang telah disebut. Tentu saja pada ujungnya tak mempedulikan kepentingan begitu banyak siswa dan orangtuanya yang menginginkan buku ajar berkualitas—karena sudah melalui penilaian BSNP–dan yang terpenting terjangkau karena murahnya. Jadi keuntungan bagi pengusaha, oknum pemerintah, dan sekolah, atas biaya orangtua siswa.

Dalam kaitan ini pula, patut dipertanyakan pula sejauh mana keterhubungan penyaluran dana BOS untuk buku yang diberikan kepada setiap siswa dengan pengadaan buku pelajaran. Dana BOS tersebut meskipun belum memadai, seharusnya bisa menjadi solusi penyediaan buku pelajaran lebih banyak. Khususnya mengingat harga eceran BSE yang fisik cetakannya sudah dipatok berharga jual sekitar Rp 8.000 per buku.

Usulan solusi
Sejumlah masalah tersebut perlu segera mendapat perhatian memadai dan usaha kongkrit untuk mengamankan kebijakan yang sudah jelas pemihakannya dan tak dapat ditawar lagi: demi kepentingan orang banyak dan pencerdasan bangsa. Hal ini mengingat mekanisme formal pengambilan keputusan Dinas Pendidikan-pemda-sekolah sangat dimungkinkan bisa menghambat pemasyarakatan pemanfaatan buku murah ini.

Menurut akal sehat mustahil mengharapkan munculnya terobosan dari kalangan pengusaha yang jelas-jelas meminta kebijakan pembelian hak cipta buku ajar dan ikutannya dicabut. Pengusaha merasa sebagai pihak paling dirugikan meskipun belasan tahun telah menikmati berlimpahnya rezeki bisnis buku pelajaran tanpa sedikit pun berempati kepada para orangtua siswa yang selama ini harus membayar mahal.

Yang masih bisa diharapkan adalah terobosan dari pihak pemerintah sendiri terkait perlunya koordinasi yang lebih rapi untuk melaksanakan kepentingan bersama memajukan bangsa ini. Wilayahnya jelas pada soal sinkronisasi pelaksanaan aturan dan realisasi anggaran antara pemerintah pusat dan daerah serta soal penegakan aturan dengan sanksi yang lebih tegas bagi yang melanggar.

Penerapan aturan secara lebih tegas ini dimungkinkan bila ada pengawasan memadai dari unit pemantau internal yang dimiliki pemerintah. Tugas ini sebenarnya bukan hal sulit mengingat banyak lembaga swadaya masyarakat yang bisa membantu. Misalnya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang punya jaringan di daerah dan telah beberapa kali mengungkapkan hasil penelitiannya tentang buku sekolah.

Pemerintah juga perlu melakukan lebih menggencarkan sosialisasi terkait bagaimana menerapkan penggunaan BSE dalam kondisi riil sekolah. Hal ini mengingat sejauh ini hanya langkah sporadis yang dilakukan, seperti usaha swadaya masyarakat dengan memperbanyak dan menyebarkan cakram digital (CD) BSE yang telah diunduh, dukungan sekadarnya media massa, dan keterangan tak komprehensif dari Depdiknas.

Sekolah Simpul Penting
Idealnya Depdiknas mengadakan penyuluhan yang tuntas seputar pemakaian BSE ke sebanyak mungkin sekolah, termasuk misalnya mengadakan semacam roadshow bagi para penulis BSE untuk memberikan kiat-kiat pengajarannya kepada para guru yang akan membawakan materi tersebut di kelas. Sebagaimana secara sistemik bisa ‘memaksa’ para kepala sekolah menggunakan BSE.

Tentu saja sosialisasi juga memberikan wawasan betapa manfaat yang akan didapat jauh lebih bermakna daripada sekadar mencari untung sesaat dari tindakan kolusi pengadaan buku yang kenyataannya jauh lebih menguntungkan pengusaha. Bahwa kolusi itu semestinya bisa terus dikikis dengan mengingatkan bahwa kesejahteraan guru—terutama sekolah negeri—sejauh ini telah dan akan terus ditingkatkan pemerintah.

Semua itu berkaitan dengan simpul terpenting, yaitu bagaimana memberdayakan dan mendorong dijalankannya peran sekolah dalam menentukan buku pelajaran mana yang dipakai. Bahwa sekolah—lewat dewan yang ada dan para pejabatnya–punya otonomi untuk menggunakan buku berkualitas mana yang paling cocok bagi sekolah dan terutama terjangkau—harganya–bagi anak didik.

Betapa inisiatif para pejabat sekolah dan para guru yang jadi informal leader benar-benar berperan dalam menentukan pilihan yang akan diambil. Terobosan dari sisi sekolah ini bisa jadi memberi hasil lebih kongkrit karena langsung mendorong guru agar lebih profesional. Peningkatan profesionalitas ini secara institusional telah tumbuh, misalnya lewat pelatihan-pelatihan yang diadakan Klub Guru yang juga menyosialisasikan BSE.

Dengan menerapkan sejumlah langkah tersebut kiranya tudingan bahwa pemerintah—baca: Depdiknas–mengalami miopi dalam mengambil kebijakan BSE sehingga hanya berujung pada pemborosan dan kemubaziran, semoga bisa ditepis. Bahwa Depdiknas tidak sekadar mengambil kebijakan populer tapi juga mau memikirkan bagaimana detil pelaksanaannya di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar