Minggu, 24 Mei 2009

REFLEKSI (IN BRIEF) KEGAGALAN KURIKULUM 1984 DAN 1994 TERHADAP PELAKSANAAN KBK DAN KTSP

Penulis : Agung (Pendidikan Network)

Pada tahun 1991, Jasin A. menulis sebuah artikel pada harian Suara Pembaruan mengenai kegagalan penerapan (Cara Belajar Siswa Aktif) CBSA yang menjadi landasan pengajaran di era tahun 80an (dikutip dari literatur Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK oleh Nurhadi, et al: 2003). Pernyataan kegagalan dari Jasin tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak keluhan kegagalan dalam menerapkan CBSA. Tidak sedikit pihak yang memandang miring CBSA sehingga pembicaraan mengenai CBSA sebagai cara belajar yang mendorong keaktifan siswa telah dipelesetkan menjadi "Catat Buku Sampai 'Abis". Melihat kegagalan tersebut, sebagai ganti dari kurikulum 1984 yang menggunakan CBSA sebagai model pembelajaran diterbitkanlah kurikulum 1994 yang menekankan azaz kebermaknaan sebagai acuan pemberian materi pelajaran. Dalam kurikulum 1994 ditekankan bahwa siswa tidak lagi menjadi objek pengajaran namun harus berperan aktif dalam proses belajar mengajar atau dengan kata lain siswa harus menjadi subjek dalam proses belajar mengajar. Kemudian, menyusul istilah pembelajaran yang dipakai sebagai terminologi untuk menekankan bahwa dalam proses belajar siswa harus aktif melakukan tindakan belajar - siswa merupakan subjek pembelajaran, sementara guru bertindak sebagai motifator, fasilitator, inspirator dan sekaligus instruktur.

Jika ditelaah dengan cermat, dapat dipahami bahwa kurikulum 1994 yang menekankan aspek kebermaknaan merupakan perbaikan atau penyempurna dari kurikulum sebelumnya yang menggunakan model pembelajaran CBSA. Inti pokok persamaan yang dapat dilihat adalah bahwa 1) siswa menjadi subjek yang berperan aktif dalam melakukan tindak pembelajaran, 2) tindak pembelajaran lebih mengutamakan proses dari pada produk, dan 3) kesalahan yang dilakukan siswa dalam memahami dan atau melakukan proses pembelajaran tidak dianggap sebagai kegagalan namun dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran. Perbedaannya adalah kurikulum 1994 menekankan unsur atau azas kebermaknaan sedangkan CBSA menekankan keaktifan siswa. Dipakainya azas kebermaknaan tersebut tampaknya merupakan koreksi dari CBSA, dimana pada saat model pembelajaran tersebut dipakai, guru-guru merasa kesulitan untuk membuat siswa mereka aktif.

Ketidakmampuan siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar dikarenakan guru tidak mampu memberikan dorongan dan bahan ajar yang dapat menarik siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Disamping guru masih belum dapat meninggalkan cara otoriter dalam mengelola kelas, materi pelajaran yang diberikan masih terpaku pada buku paket yang ada. Permasalahannya adalah isi buku paket tersebut tidak mampu mencakup dasar sosial budaya dan lingkungan di setiap daerah pengguna buku tersebut, sehingga stimulus yang diberikan oleh buku tersebut tidak dikenali oleh siswa. Keadaan ini membuat siswa kesulitan untuk menggali dan kemudian mengintegrasikan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah ada dalam pengetahuan dasarnya (pre-existing knowledge). Hal tersebut diperburuk oleh tindakan guru yang tidak mengetahui cara menyesuaikan apa yang ada dalam buku tersebut dengan situasi dan kondisi pembelajaran. Dengan demikian materi pelajaran yang ada yang digunakan untuk merangsang siswa berperan aktif dalam tindakan pembelajaran tidak memiliki makna yang memadahi bagi siswa sehingga pancingan yang diberikan benar-benar terasa asing bagi siswa.

Kondisi di atas tidak sesuai dengan pandangan teori kognitif yang mulai terdengar seru di Indonesia pada era 80an bahwa siswa belajar berdasarkan pada pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Selain itu, siswa dapat dengan mudah memahami sesuatu bila hal yang dipelajari tersebut dapat mereka temui sebagai pengalaman hidup dalam kehidupan sehari-hari. John Dewey (dalam Nurhadi et,al, 2003) menyatakan bahwa siswa akan belajar dengan baik apa bila yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui. Tentu saja, kepekaan siswa terhadap rangsangan pembelajaran juga sangat dipengaruhi oleh kondisi latarbelakang sosial budaya (socio-kultural) dimana siswa bergerak aktif di dalamnya. Hal ini dinyatakan oleh Vygotsky (dalam Ricardo Shutz,2002) bahwa :

Ketrampilan kognisi dan bentuk pemikiran tidak secara khusus ditentukan oleh faktor bawaan, namun merupakan hasil dari aktifitas yang dilakukan dalam lingkup institusi sosial budaya dimana seorang individu tumbuh. Dengan demikian sejarah sosial di mana seorang anak dididik dan sejarah personal anak merupakan penentu cara berpikir seseorang.

Dari pendapat yang demikianlah kemudian dilakukan perombakan terhadap cara pandang dalam memberikan materi pembelajaran. Dari materi pembelajaran yang didasarkan pada pokok bahasan menjadi materi pembelajaran yang didasarkan pada tema. Sedangkan tema tersebut agar lebih bermakna bagi siswa dan berhubungan apa yang ada dalam ingatan siswa harus mengacu pada keadaan lingkungan pembelajaran. Berangkat dari hal tersebut, digunakanlah muatan lokal sebagai acuan pengambilan tema dan sub tema sebagai sarana untuk menyampaikan materi pembelajaran.

Para praktisi pendidikan, mulai dari tingkat kementrian hingga praktisi pendidikan di lapangan, dalam hal ini guru, menaruh harapan besar pada kurikulum 1994 untuk dapat mencetak manusia cemerlang. Optimisme itu berangkat dari acuan teoritis yang sangat mengesankan terhadap pandangan aliran kognitif yang mampu merobohkan pandangan aliran psikologi behaviorism. Berpijak pada teori yang dinyatakan oleh Vygotsky, Hamachek menyatakan bahwa perkembangan kognisi sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kultural siswa.(1995:164). Alasannya bila individu dihadapkan pada peristiwa (stimulus sebagai tindak pembelajaran) individu akan mengeksploitasi seluruh kemampuan sensoriknya untuk menanggapi peristiwa tersebut. Selain optimalisasi fungsi sensorik, individu juga memanfaatkan background knowledge-nya (baca: pengetahuan latar belakang) dan dorongan emosionalnya untuk membantu fungsi sensorik dalam menanggapi stimulus yang dia terima. Dengan demikian, fungsi sensorik yang beragam (penglihatan , pendengaran, pembau dan pengecap) dengan dibantu oleh dorongan emosional terhadap stimulus yang datang dan hal-hal terkait yang tersimpan dalam memori individu, akan membantu mempermudah individu tersebut mengikat peristiwa yang dihadapi dan dikerjakannya dalam memorinya. Pandangan dari psikologi kognitif sangat sesuai dengan model siswa aktif terhadap tindakan pembelajaran yang melibatkan konten muatan lokal (hal-hal yang mudah ditemui di lingkungan sekitas siswa) sehinggan tindakan pembelajaran merupakan tindakan kebermaknaan (mempunyai makna baik secara akademis maupun secara pribadi) bagi siswa.

Berpegang kuat pada prinsip teoritis di atas, pihak curriculum designer merasa yakin bila hal tersebut dilakukan dengan benar, tujuan untuk membentuk manusia cemerlang bisa terwujud. Namun, pada kenyataannya penerapan dari kedua kurikulum tersebut (1984 dengan CBSA dan 1994 dengan azas kebermaknaan) tidak dapat memuaskan tujuan tersebut. Dinyatakan oleh Nurhadi (et,al 2003) bahwa kondisi pendidikan di Indonesia berada dalam posisi yang memprihatinkan. Human Development Report tahun 2003 versi UNDP menyatakan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada di urutan 112, jauh di bawah Filipina (85), Malaysia (58), Brunai Darussalam (31) dan Singapura (28). Melihat kenyataan ini, pembuat kebijakan pendidikan merasa perlu mengadakan pembenahan. Untuk itu sejak tahun 2000 pemerintah mulai mendengungkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudia disusul dengan isu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada akhir tahun 2006 yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh sekolah di Indonesia pada tahun 2008 (waspada online,2006).

Isu pembaharuan dari kurikulum 1994 hingga KTSP membawa dampak yang sangat kontradiktif. Bagi pihak yang "paham dan meyakini" pemikiran teoritis baru yang dipakai sebagi dasar dari KBK yaitu Contextual Teaching learning, KBK dan KTSP merupakan alasan logis untuk mendongkrak mutu dari hasil pendidikan. Sementara itu, sebagian sangat besar praktisi lapangan (guru) merasa pesimistis dan banyak mengeluh terhadap pelaksanaan Kurikulum baru tersebut. Dari pertentangan ini, kiranya perlu meninjau perlu tidaknya pembaruan kurikulum. Kalaupun diperlukan pembaruan kurikulum, seyogyanya yang menjadi titik tolak tidak hanya terletak pada teori, metode dan pendekatan pembelajaran saja. Namun perlu juga dipertimbangkan aspek lain yaitu infrastruktur pendidikan yang telah kita miliki. Infrastruktur yang dimaksud dalam hal ini adalah kesiapan seluruh elemen yang bertanggung jawab terhadap pendidikan (Pemerintah, sekolah dan masyarakat), kesiapan sarana dan prasarana yang mendukung dilaksanakannya kurikulum yang hendak dipakai dan kesiapan sistem atau managemen dari tingkat pusat hingga tingkat satuan pendidikan untuk mensukseskan pelaksanaan kurikulum yang hendak digunakan.

Pandangan Mengenai Langkah-langkah Pembaruan Kurikulum

Seperti telah diungkapkan dalam sesi sebelimnya bahwa pelaksanaan kurikulum kita kurang memberikan hasil yang memuaskan. Hal itu bisa ditinjau dari rendahnya posisi urutan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia saat ini. Menyadari hal tersebut, pemerintah buru-buru menerbitkan kurikulum baru. Nurhadi etl.al menyatakan dalam konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran (2003:1). Idealnya, bila tiga isu tersebut dapat dipenuhi dengan baik harapan keberhasilan akan dapat diwujudkan. Namun, melihat kondisi lapangan dimana terjadi perselisihan pendapat dan anggapan mengenai KBK dan KTSP, rasanya sulit untuk mengharapkan keberhasilan dari kurikulum yang baru tersebut. Banyak pendapat bermunculan yang mengatakan bahwa kurikulum baru tersebut memiliki format baru namun dalam pelaksanaannya masih bercorak lama. Dengan demikian, tampaknya kegagalan CBSA dan kurikulum 1994 akan terulang lagi.

Dari suatu sumber yang pernah penulis baca dinyatakan bahwa sebelum kurikulum dirancang, terlebih dahulu dilakukan survey secara nasional terhadap kebutuhan hasil pendidikan (need accessment) saat ini dan masa yang akan datang, dan kesiapan perangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran termasuk sistem institusi terkait. Survey nasional mengenai hal-hal tersebut harus didasarkan pada azas kesungguhan dan kejururan untuk memenuhi standar faliditas dan reliabilitas terhadap data yang diperoleh. Faliditas dan reliabilitas data survey yang digunakan sebagai acuan dalam pembenahan kurikulum merupakan pagar pengaman agar bila kebijakan baru diterbitkan kebijakan tersebut tidak memunculkan keluhan dari berbagai pihak. Langkah penting ini tampaknya gagal dilaksanakan di Indonesia sehingga begitu keluar kebijakan baru mengenai kurikulum KBK muncul berbagai keluhan dan rasa pesimistis yang besar lingkungan pendidikan. Seorang guru dari Sekolah Dasar Negeri terbaik di lingkungan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang sempat berbincang dengan penulis pada sekitar tahun 2001 menuturkan bahwa surey dan percobaan pelaksanaan kurikulum baru di kabupaten tersebut dilaksanakan hanya di sekolah tempat beliau mengajar, itupun dipilih murid-murid yang pinter-pinter. Malihat fakta yang demikian tampaknya data yang diperoleh tidak memenuhi standar validitas dan reliabilitas yang diperlukan sehingga tidak mengherankan bila keluhan terhadap kurikulum baru (KBK) terdengar di berbagai tempat.

Acuan Kebutuhan Hasil pendidikan Saat Ini dan Masa Depan

Acuan untuk meninjau kebutuhan hasil pendidikan saat ini di dasarkan pada dua faktor yaitu kondisi riil yang ada dilapangan mengenai mutu proses pembelajaran dan hal-hal yang dipersiapkan untuk menghadapi masa transisi peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum yang baru. Artinya, bila kondisi riil menunjukkan proses pembelajaran di seluruh nusantara ini masih belum memenuhi standard kurikulum yang berlaku saat itu dan tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan ketika kurikulum tersebut diformat maka sebaiknya terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan pelaksanaan kurikulum yang berlaku saat itu. Dengan ini, dapat benar-benar diketahui letak kegagalan dari pelaksanaan kurikulum yang berlaku.

Ada kemungkinan, kegagalan sistem pendidikan Indonesia pada era CBSA dan kurikulum 1994 tidak terletak pada kurikulumnya (landasan teori, pendekatan, teknik pembelajaran dan penilaian) namun boleh jadi hal tersebut diakibatkan oleh sistem seleksi tenaga pendidik yang kurang valid sehingga tidak mampu menyeleksi calon guru yang benar-benar kompeten, sistem pembinaan dan peningkatan mutu guru yang kurang memadahi, sistem supervisi akademik yang kurang pada tempatnya, dana pendidikan dan lain-lain. Sebagai bukti, berikut ini adalah cuplikan berita dari Waspada online (2006):

Mansyur memaklumi banyak guru yang kebingungan dengan model kurikulum KTSP. Sebab selama bertahun-tahun guru hanya menerima jadi kurikulum dari pemerintah pusat. Model KTSP menuntut kreatifitas mereka untuk menyusun sendiri model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal dimana sekolah berada.

Kenyataan di atas tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam kurikulum 1994 bahwa guru diharapkan untuk mengembangkan sendiri tema maupun sub-tema yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan kondisi lingkungan pembelajaran. Pengembangan tema dan sub-tema tersebut tidak berarti bahwa guru menerima jadi secara keseluruhan isi kurikulum yang dipakai saat itu. Tindakan pengembangan tersebut sebenarnya sudah merupakan awal atau latihan untuk menyusun silabus dan kurikulum sendiri. Dan bila sampai sekarang guru benar-benar buta dalam menyusun kurikulum lokal (KTSP), tentu ada permasalahan lain yang harus ditinjau kembali.

Hal-hal yang dipersiapkan untuk menghadapi masa transisi peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum yang baru dapat dipetakan bila pelaksanaan kurikulum yang sedang dipakai sudah memenuhi kriteria. Persiapan tersebut tidak terhenti pada format administrasi untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran namun juga penyesuaian untuk landasan teoritis, pendekatan maupun teknik yang akan dipakai untuk kegiatan pembelajaran nantinya. Sehingga, bila kurikulum baru benar-benar diberlakukan para praktisi pendidikan tidak awam terhadap perubahan yang dikehendaki.

Acuan untuk meninjau kebutuhan hasil pendidikan untuk masa yang akan datang adalah kondisi sosio-ekonomi dan politik di tanah air. Telah disadari bahwa masyarakat adalah pengguna jasa pendidikan, sedangkan pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus memenuhi tuntutan masyarakat termasuk merencanakan masa depan masayarakat sebagi komponen bangsa. Pendidikan berdiri di tengah sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rencana pemerintah untuk masa depan masyarakat dipersiapkan melalui media pendidikan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia Indoneia yang handal. Implementasinya dalam pembelajaran adalah pemerintah menerbitkan kurikulum nasional (core Curriculum) yang berisi rambu-rambu yang mengarah pada penguasaan kompetensi yang dibutuhkan di masa mendatang berdasarkan analisis terhadap penentuan posisi Indonesia diantara negara-negara lain di dunia, dan kebutuhan bangsa dan pasar global di masa mendatang. Rambu-rambu tersebut harus dapat dipenuhi, sementara dalam kurikulum tersebut juga berisikan keleluasaan bagi pelaksana pendidikan untuk mengembangkan kurikulum tersebut sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Dengan cara demikian potensi yang beragam yang menjadi andalan di setiap dearah di Indonesia dapat dioptimalkan. Dalam kurikulum terbaru ini, KBK bisa dibilang sebagai kurikulum nasional (core curriculum) sedangkan KTSP merupakan kurikulum lokal (Local Curriculum). Jadi pada dasarnya kedua kurikulum tersebut adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Sesuai dengan perencanaan pemerintah terhadap masa depan masyarakat Indonesia, dalam kurikulum nasional ditetapkan rambu-rambu yang berisi ketentuan terhadap tujuan umum pendidikan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang. Dalam rambu-rambu tersebut, pemerintah dapat menetapkan kompetensi apa saja yang diperlukan untuk pemberdayaan dan pembangunan negara di masa mendatang dan seberapa besar kualitas kompetensi tersebut diharapkan dapat bersaing dengan kualitas kompetensi dari negara lain sehingga masyarakat Indonesia mampu bersaing dalam dunia global. Kompetensi dan acuan mutu kompetensi tersebut disisipkan dalam kurikulum untuk dijadikan acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sementara itu dalam pelaksanaannya, kurikulum lokal dibuat berdasarkan kurikulum nasional dengan memperhatikan hal-hal yang harus dikembangkan sesuai dengan kompetensi daerah, sehingga masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan secara langsung dapat merasakan dampak positif pendidikan terhadap pembangunan sumber daya di daerahnya. Dengan cara itu, komunikasi antara masyarakat dengan sekolah menjadi erat sehingga terbentuk kerjasama yang sinergis antara institusi pendidikan dan masyarakat. Bila hal ini dapat diwujudkan, institusi pendidikan memiliki peran yang terbuka untuk ikut serta dalam mendukung proses pembangunan di daerah masing-masing sementara masyarakat juga memiliki peran sebagai pengontrol dan nara sumber bagi pengembangan mutu pendidikan. Seperti halnya di negara-negara maju, bila komunikasi pendidikan berjalan lancar - masyarakat sebagai pengontrol dan pendukung penyelenggaraan proses pembelajaran dan sekolah dalam peran dan upayanya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat - ujian nasional yang saat ini berada dalam perdebatan dapat dihapuskan. Ukuran keberhasilan pendidikan tidak lagi hanya dilihat dari output pendidikan namun juga outcome pendidikan.

Kesiapan Perangkat Pendukung Pelaksanaan Pembelajaran

Telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa selain diperlukannya tinjauan untuk kebutuhan hasil pendidikan (need accessment) saat ini dan masa yang akan datang, tinjauan terhadap kesiapan perangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran penting untuk diperhatikan dalam menetapkan kebijakan baru dalam pendidikan, terutama masalah pembaharuan dalam kurikulum. Perangkat tersebut memiliki cakupan yang sangat luas mulai dari institusi pendidikan, masyarakat, hingga pemerintah itu sendiri. Perlu diketahui bahwa pendidikan merupakan langkah pemberdayaan dan pembudayaan bangsa. Oleh karena itu, tiga komponen tersebut - Sekolah, Masyarakat, dan Pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan hasil pendidikan yang diharapkan. Ketimpangan yang ditimbulkan oleh salah satu pihak akan berdampak pada pihak yang lain dalam mewujudkan cita-cita pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia.

Usaha pemerintah dalam mempersiapkan sarana pendukung bagi penyelenggaraan pendidikan adalah pendanaan pendidikan, pengadaan tenaga pendidik, pembentukan sistem program peningkatan mutu pengajaran, pengawasan terhadap kegiatan atau media masa yang memiliki pengaruh terhadap pendidikan. Memang, hal - hal tersebut bukan merupaka item tunggal yang dengan mudah dapat dilaksanakan namun lebih merupakan sistem yang membutuhkan perangcangan, pelaksanaan dan pengawasan yang baik. Oleh karena, upaya tersebut menyangkut tata kerja sistem yang besar dan luas, maka pemerintah harus serius menangani hal ini. Jika pemerintah tidak serius dalam menangani hal tersebut dimana banyak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya, maka di masa yang akan datang kita akan kembali mendapatkan panen hasil pendidikan yang buruk. Perlu disadari sistem kerja manusia Indonesia, baik di pemerintahan maupun instansi lain, yang semrawut dewasa ini merupakan hasil dari pendidikan dengan sistem KKN dan ABS (Asal Bapak Senang).

Pendanaan Pendidikan

Pemerintah memberikan dana pendidikan melalui APBN. Peningkatan dana yang dikeluarkan untuk kebutuhan mengenai sarana dan prasarana pendukung pendidikan telah dilaksanakan. Hal itu berupa dana pengembangan pendidikan, beasiswa, dana BOS dsb. untuk keperluan perbaikan gedung sekolah, pengadaan laboratorium beserta instrumennya, pendukung kegiatan ketrampilan dan sebagainya. Untuk tenaga pengajar diberikan gaji dan tunjangan yang baik agar kinerjanya lebih bagus dan profesional.

Niat dan langkah yang baik tersebut di atas seharusnya tidak terhenti di situ. Kontrol pelaksanaan dan distribusi dana juga mutlak diperlukan. Sebagai salah satu contoh, terdapat kepala sekolah TK yang tidak mengerti bagaimana dana bantuan pengembangan pengajaran dibelanjakan sehingga dana tersebut dipakai untuk memperbaiki gedung sekolah, pada kenyataannya dana tersebut seharusnya dipakai untuk membeli alat-alat belajar (bermain) di TK yang dia kelola. Dengan demikian dana tersebut bisa dikatakan sampai pada tujuannya namun belum tepat sasarannya. Dari contoh kecil ini dapat disimpulkan bahwa pengembangan pendidikan lewat pendanaan berbanding lurus secara signifikan dengan peningkatan SDM pengelola dan pemakai dana tersebut.

Masalah KKN merupaka persoalan yang paling rawan dalam urusan dana. Untuk itu diperlukan pengawasan yang ketat, pemberlakuan aturan dan hukum yang baik dan pemendekan jalur distribusi dana. Urusan birokrasi yang berbelit dengan jalur yang panjang mengakibatkan semakin menipisnya dana yang sampai ke tujuan dan sasaran. Selain itu, perlu juga memilih aparat yang bermoral baik. Hal ini sangat sulit terutama di negara Indonesia. Masalah korupsi di Indonesia sudah bukan terletak pada masalah ada atau tidak ada korupsi, namun lebih terletak pada kepiawaian untuk membuktikan terjadi dan tidaknya tindakan tercela tersebut.

Pengadaan Tenaga Pendidik

Salah satu komponen penting sebagai motor penggerak proses pembelajaran adalah tenaga pendidik atau guru. Kebutuhan guru tidak didasarkan pada kapasitas kuantitafnya namun juga kualitasnya. Selain itu perlu juga dipertimbangkan penyebarannya untuk daerah-daerah yang memerlukan. Pengangkatan guru dengan prioritas penduduk asli/daerah merupakan salah satu usaha yang cukup bagus untuk memenuhi salah satu krieria tersebut. Mengantisipasi perpindahan guru yang terjadi pada masa lalu yang mengerucut kembali ke daerah asal (jawa) lengkah tersebut mutlak diperlukan. Hanya saja, bila sistem rekruitmen dan kontrolnya tidak cukup baik maka justru langkah ini menuai banyak persoalan dan penyelewengan. Dengan jumlah pengangguran yang sangat tidak sebanding dengan lapangan kerja, masalah tenaga kerja menjadi isu yang sangat rawan.

Masalah pengangguran dan angkatan kerja merupakan masalah bangsa. Terbatasnya lowongan dalam hal ini pegawai negeri sipil guru, dikarenakan hal tersebut terkait dengan anggaran belanja negara yang otomatis berhubungan dengan masalah penggajian. Oleh karena konsentrasi yang tidak merata pada setiap kebutuhan daerah maka banyak daerah terpencil yang kekurangan tenaga pengajar. Selain itu, rumitnya masalah penyebaran tenaga pendidik menyebabkan banyak kasus terjadi bahwa seorang guru mengajar bidang pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Seorang lulusan Institusi Pendidikan Keguruan jurusan Teknik Elektro terpaksa mengajar fisika atau seni. Dengan demikian mutu pembelajaran di daerah terpencil tersebut otomatis menjadi tertinggal oleh kemajuan daerah lain.

Selain masalah kuantitas tenaga pendidik, masalah kualitas juga merupakan hal yang krusial bagi peningkatan mutu hasil pendidikan. Hal ini terutama terkait erat dengan sistem dan alat seleksi tenaga pendidik. Isu pengangkatan guru dari tenaga honorer sebenarnya merupakan masalah ketenagakerjaan dan bukan merupakan masalah seleksi terhadap kelayakan tenaga pengajar. Pengangkatan tenaga honorer lebih melihat pada unsur pengabdian dan bila dikaji lebih lanjut, proses rekruitmen untuk tenaga honorer guru tidak melalui test kelayakan. Dengan cara seperti itu, tidak bisa dipastikan bahwa seseorang yang telah diangkat menjadi tenaga honorer benar-benar memiliki kemampuan mengajar yang layak. Hanya saja dalam proses pengabdian tersebut, diharapkan tenaga honorer tersebut belajar dan mendapatkan pengalaman yang memadahi untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, sangat disayangkan banyak tenaga honorer yang tidak diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan ataupun penataran yang diadakan untuk memantapkan pengajaran dan parahnya pengakuan terhadap prestasi yang dilakukan oleh tenaga honorer tidak diberika oleh karena pada pelaksanaannya dalam institusi pendidikan, masih terdapat pembedaan antara hasil kinerja tenaga guru PNS dan tenaga guru honorer.

Syarat pokok menjadi guru adalah penguasaan apa yang harus diajarkan (kemampuan akademik), tahu apa tujuan pengajaran (penguasaan dan pengembangan kurikulum dan bahan ajar), tahu bagaimana cara mengajar (menguasai teori, pendekatan dan teknik mengajar), memahami siapa yang harus dididik (paham mengenai psikologi pendidikan). Tes yang digunakan untuk menguji kelayakan guru dalam rekruitmen tenaga pendidikan seharusnya mencakup semua unsur tersebut. Namun, soal-soal yang diberikan untuk tujuan itu sedikit sekali mengandung unsur-unsur pokok tersebut. Terdapat unsur lain yang disertakan dalam soal tes tersebut yaitu soal-soal untuk tes profesi, pengembangan daya nalar, perundang-undangan dan pengetahuan umum. Ketiga jenis soal tersebut lebih bersifat umum.

Dapat dipahami bahwa dengan soal-soal yang mengarah pada profesi, psikologi dan perundangan dapat ditentukan kualitas calon pegawai sehubungan dengan ketahanan kerja, pemahaman lingkup kerja dan loyalitas pada institusi dimana peserta akan bekerja. Tes daya nalar ditujukan untuk mendapatkan pegawai yang mampu mengembangkan diri dalam proses bekerja. Sedangkan soal yang berisi mengenai pengetahuan umum lebih mengarah pada pemahaman bahwa seorang guru diharapkan tanggap terhadap segala macam hal dan persoalan yang tejadi di lingkungan maupun dunia, sehingga guru benar-benar menjadi sumber ilmu bagi siswanya. Oleh karena soal-soal yang diberikan untuk seleksi tenaga pendidik tersebut hanya sedikit mengandung unsur-unsur pokok yang diperlukan untuk mengetahui kelayakan seorang tenaga pendidik, maka bisa dikatakan bahwa alat ukur tersebut memiliki faliditas yang rendah. Hasil dilapangan dapat dengan mudah diketahui bahwa guru-guru baru yang lolos tes seleksi pada kenyataannya tidak mampu menunjukkan kapasitas yang diharapkan sehingga muncullah alasan klasik terhadap kondisi itu yaitu guru baru tersebut belum cukup berpengalaman.

Pembentukan Sistem Program Peningkatan Mutu Pengajaran

Program pembedayaan sumber daya manusia melalui program pengembangan atau perubahan kurikulum tidak akan dapat berhasil tanpa pembentukan sistem yang baik. Program peningkatan mutu pengajaran dapat dilakukan melalui penataran, diklat, lokakarya, seminar, KKG, rapat dewan guru, pengawasan dan supervisi pendidikan dan lain-lain. Kegiatan tersebut sudah dilakukan di Indonesia, namun apakah kegiatan tersebut telah dilakukan dengan benar? Apakah orang-orang yang ditunjuk melakukan pembinaan benar-benar kompeten dalam melaksanakan tugasnya dan menyesuaikan konten tugasnya dengan permasalahan yang dihadapi oleh peserta pembinaan tersebut? Dan apakah sistem yang digunakan sudah cukup bagus dalam memenuhi kebutuhan pengembangan/peningkatan mutu pengajaran ?

Peningkatan Mutu Pengajaran, termasuk sosialisasi kebijakan pendidikan yang baru dilakukan melalui penataran, yang diperkuat dengan loka karya dan atau seminar. Nara sumber atau penyaji dalam penataran tersebut merupakan orang-orang pilihan yang dianggap mumpuni dalam permasalahan yang sedang dibahas baik secara teori maupun praktek. Namun, sejauh ini banyak keluhan mengenai penyajian dalam penataran maupun seminar. St Kartono dalam situs internet mengungkapkan kekecewaan guru-guru di Jogjakarta setelah menerima sosialisasi KBK :"Aku pikir mereka akan berbicara tentang semangat baru sebuah kurikulum dan berbagai pendekatan kepada siswa. Ternyata, yang namanya sosialisasi kurikulum baru oleh para pengawas dari Dinas Pendidikan hanyalah bicara hal-hal administratif belaka." Pernyataan tersebut bukan merupakan hal yang baru. Pada masa-masa sebelumnya di berbagai daerah sering kali terjadi keluhan semacam itu. Hal semacam inilah yang membuat kegiatan penataran menjadi kurang efektif dan dapat menurunkan semangat peserta penataran.

Kegiatan penataran maupun sosialisasi kurikulum baru mestinya tidak berhenti pada urusan administrasi belaka. Melihat tulisan Saudara St Kartono di atas, bisa dipahami bahwa penyaji dari Dinas Pendidikan tersebut tidak memahami apa yang ada dalam kurikulum secara mendalam. Banyak penyaji dalam penataran hanya membacakan landasan teori maupun batasan administratif. Mereka tidak menghubungkannya dengan tindak pengajaran secara langsung. Dengan demikian apa yang didapat dari penataran ternyata tidak applicable dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Permasalahannya adalah penyaji dalam penataran tersebut bukanlah seorang pengajar sehingga mereka tidak mengetahui secara persis kondisi lapangan. Selain itu mereka hanya mempelajari acuan administrasi yang nota bene merupakan barang mati yang tidak dapat memenuhi standar pemecahan masalah dalam pelaksanaan pembelajaran. Ahli yang ditunjuk sebagai nara sumber dalam penataran dan sejenisnya bukan merupakan ahli dalam pengajaran namun cenderung ahli dalam bidang administrasi atau hafal pernyataan - pernyataan yang lebih bersifat teoritis.

Usaha peningkatan mutu pengajaran tidak terhenti pada tingkat penataran hingga seminar karena tidak semua guru memiliki kesempatan untuk mengikutinya. Untuk memenuhi usaha tersebut diadakan pertemuan rutin para guru (KKG) untuk menyebarkan informasi yang didapat dari penataran tersebut. Bisa dikatakan bahwa KKG merupakan kepanjangan tangan dari penataran yang telah diberikan. Namun, bagaimana kegiatan semacam ini efektif bila pihak yang membawa oleh-oleh dari penataran juga masih bingung atau hanya berkutat di seputar urusan administrasi? Hal ini mengakibatkan kegiatan KKG menjadi ajang temu kangen, arisan maupun GO SHOW (gosip show) diantara para guru yang penat dengan kebingungan mereka.

Pola supervisi akademik yang selama ini diterapkan ikut berperan dalam carut marut pemberdayaan guru. Dari apa yang diungkapkan oleh St Kartono di atas, terbukti bahwa pengawai yang juga supervisor akademik hanya paham mengenai urusan administrasi. Dari poin ini dapat dilihat bahwa supervisi akademik terhenti di urusan administrasi. Hal ini melahirkan budaya yang lebih menekankan pada pentingnya pelengkapan administrasi dari pada tindak pengajaran. Tak pelak lagi, guru lebih terkonsentrasi pada pemenuhan kelengkapan administrsi dari pada peningkatan mutu pengajaran untuk mengejar karir mereka.

Sedikit Pandangan Mengenai Sipervisi Akademik

Supervisi akademik yang selama ini dijalankan ternyata tidak membawa kemajuan yang signifikan pada peningkatan mutu pembelajaran. Hal ini dikarenakan tindakan supervisi tersebut hanya menekankan pada aspek administrasi dan kelengkapan sarana pendukung pembelajaran. Tinjauan yang tertumpu pada aspek administrasi dilakukan berdasarkan asumsi bahwa dengan melihat kelengkapan administrasi tersebut, terutama pada lesson plan dapat diketahui bagaimana langka-langkah dan pola pembelajaran yang didesain oleh seorang guru. Asumsi semacam ini menyesatkan karena banyak bukti guru hanya mencontoh bentuk lesson plan yang sudah ada yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan kondisi pada saat ini. Ada kalanya, ketika seorang guru menanyakan perihal kiat-kiat pembelajaran yang efektif berdasar pada kondisi yang dia alami, supervisor atau pengawas tersebut justru tidak paham (dan biasanya tersinggung). Ini merupakan titik konflik yang berbahaya yang akhirnya menumbuhkan budaya KKN dan SST (sama-sama tahu).

Sistem pengawasan langsung (direct accademic supervisory) tersebut tidak efektif karena pengawas yang merupakan kepanjangan tangan dari Kantor Cabang Dinas Pendidikan tidak mampu memberikan solusi maupun pandangan yang berarti bagi peningkatan mutu pembelajaran. Kantor Cabang Dinas Pendidikan memiliki tanggung jawab untuk ikut serta dalam peningkatan mutu pembelajaran di wilayahnya tidak hanya melalui pengawasan namun juga pembinaan guru. Pada sudut pandang tertentu keterbatasan tenaga kerja dan tenaga ahli di Kantor Cabang Dinas Pendidikan dapat dijadikan alasan akan ketidakmampuannya dalam memberikan pembinaan yang memadahi bagi para tenaga kependidikan di wilayanhnya. Oleh karena itu sistem pengawasan langsung tersebut sudah tidak layak dipertahankan lagi.

Salah satu alternatif pengganti sistem pengawasan langsung adalah sistem pengawasan dan pembinaan siklus (circle accademic supervisory). Sistem pengawasan dan pembinaan siklus merupakan sistem pengawasan dan pembinaan yang dilakukan dengan menggandeng institusi lain untuk membantu memberikan saran dan pembinaan terhadap peningkatan mutu pengajaran. Institusi yang ditunjuk untuk kerja sama ini misalnya perguruan tinggi lokal atau lembaga swadaya masyarakat yang tentu saja memiliki kapabilitas yang memadahi, bertanggungjawab, memiliki kredibilitas dan dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan mutu pendidikan di daerah tersebut.

Sistem pengawasan dan pembinaan siklus ini dapat dimulai dari pihak sekolah yang mengirimkan permohonan pembinaan untuk mata pelajaran tertentu kepada Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Selanjutnya, Kantor Cabang Dinas Pendidikan memberi mandat pada institusi yang telah ditunjuk untuk melakukan pembinaan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Mekanisme pelaksanaan pembinaan tersebut dapat dimusyawarahkan antara pihak sekolah-sekolah yang membutuhkan, institusi yang ditunjuk sebagai pembina dan Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Institusi yang mendapat mandat untuk memberikan pembinaan pada guru-guru lokal yang membutuhkan, bertanggung jawab pada Kantor Cabang Dinas Pendidikan atas peningkatan mutu pembelajaran di daerah tersebut. Sebagai evaluasi terhadap kegiatan tersebut, Kantor Cabang Dinas Pendidikan melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap hasil kerja institusi pembina dengan mengadakan kaji silang antara program yang disusun oleh institusi pembina dan sekolah dengan peningkatan yang terdapat pada tindak pembelajaran serta out put dan out come pembelajaran.

Pengawasan Kegiatan Umum atau Media Masa

Pembentukan generasi yang unggul dan berorientasi masa depan dapat dilakukan dengan proses pembudayaan melalui pendidikan. Selain itu, media masa baik cetak maupun elektronik dan kegiatan yang bersifat umum juga memiliki pengaruh yang besar bagi proses akulturasi atau pembudayaan tersebut. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dalam melakukan sensor terhadap bentuk kegiatan umum dan penyajian dalam media masa. Kebebasan pers dan kegiatan umum harus diorientasikan pada bentuk kegiatan yang mendukung proses akulturasi yang dicanangkan pemerintah.

Kebebasan pers dan pengadaan kegiatan yang bersifat umum saat ini benar-benar menjepit pemerintah, sehingga kedudukan dan peran pemerintah dalam hal ini benar-benar dilematis. Sebagai contoh, banyak sekali acara di media elektronik yang tidak mendukung dan bahkan mengganggu proses pembudayaan. Dengan kata lain, banyak kegiatan umum dan penyiaran yang tidak mendidik. Dengan demikian himbauan untuk mengambil bahan pelajaran dari lingkungan atau dari materi yang autentik, bila tidak disertai kepekaan dan ketelitian yang baik justru akan berakibat tidak baik.

Kesimpulan

Keraguan terhadap efektifitas KBK dan KTSP dalam meningkatkan kualitas pendidikan bukan merupakan sentimen yang muncul di kalangan praktisi pendidikan (guru) atas kebijaksanaan pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya tinjauan yang kurang lengkap dan pelaksanaan yang kurang memadahi mengenai usaha peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Tiga elemen yang bertanggungjawab dalam pendidikan yaitu pemerintah, sekolah dan masyarakat memiliki beban yang sama dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Usaha tersebut mencakup perancangan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap sistem luas yang terkonsentrasi dan mendukung terhadap terwujudnya generasi masa depan yang kompetitif di era globalisasi.

Usaha peningkatan mutu pendidikan menyangkut aspek yang sangat luas dalam kehidupan bernegara. Usaha tersebut tidak terhenti pada tinjauan teoritis praktis pada tindak pembelajaran di kelas, namun mencakup perikehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Infrastruktur pendidikan yang berupa sistem terkait mulai dari pemetaan kondisi pelaksanaan pendidikan dan orientasi kebutuhan masa depan bangsa akan sumber daya manusia, pelaksanaan praktik pembelajaran dan pemenuhan kebutuhan pendukungnya, pengkondisian seluruh unsur dalam masyarakat untuk mendukung ketercapaian tujuan pendidikan mutlak diperlukan lebih dari sekedar reaksi yang membabi buta terhadap kegagalan pendidikan dan tanggapan prematur terhadap konsep atau teori pembelajaran baru yang diformat dalam pembaharuan kurikulum. Bila visi pemerintah dalam mewujudkan terciptanya sumber daya manusia Indonesia masa depan yang unggul telah diwujudkan dalam tujuan umum kurikulum pendidikan, maka pemerintah perlu menyusun dan melaksanakan misi dari visi tersebut dengan meminjau dan melibatkan seluruh komponen yang bertanggungjawab pada pendidikan yaitu pemerintah sendiri, sekolah dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar